Oleh: Ir. Fayakhun Andriadi, M.Kom (Anggota Komisi I DPR RI)
Pendahuluan
Setiap bangsa dan negara memiliki kepentingan dan tujuan nasional. Tujuan nasional termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Segala potensi bangsa dan negara diarahkan demi mewujudkan tujuan tersebut. Kemampuan fungsi pertahanan dan keamanan dengan dukungan teknologi canggih digunakan sebagai daya tangkal dan bargaining power demi mengamankan kepentingan dan tujuan nasional.
Perkembangan lingkungan strategik di era globalisasi yang mengedepankan prinsip ketergantungan dan keterhubungan (connectedness), kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informasi, komunikasi dan transportasi, menimbulkan kerawanan yang mengancam keamanan nasional hingga keutuhan dan kedaulatan negara. Ancaman itu bersumber dari tindakan kejahatan yang terorganisir yang dilakukan oleh non-state actor, berupa tindakan terorisme, sabotase, economic international crime (illegal logging, illegal fishing, illegal mining), human trafficking, drug trafficking, konflik komunal, pencucian uang, dan lain sebagainya. Ancaman ini dipandang sebagai ancaman asimetrik yang mengganggu stabilitas nasional.
Para pelaku memanfaatkan teknologi dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang canggih, dan tidak diimbangi oleh kekuatan negara. Dengan demikian, peningkatan fungsi pertahanan dan keamanan dengan dukungan peralatan teknologi canggih dan memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, perlu dilakukan.
Jaffery Sachc menyatakan bahwa dunia kini tidak lagi terbagi dalam ideologi-ideologi, melainkan dalam teknologi, yang terdiri atas 3 (tiga) kelompok:
1. Technological Innovators. Kelompok ini mencakup kurang lebih 15% penduduk dunia, namun menguasai seluruh inovasi teknologi dunia.
2. Technological Adopters. Kelompok ini mencakup separuh penduduk dunia, yaitu kelompok bangsa-bangsa yang menguasai teknologi dari hasil inovasi.
3. Technologically Excluded. Kelompok ini mencakup sepertiga penduduk dunia. Mereka kelompok bangsa-bangsa yang tidak mampu memperbaharui teknologi tradisional dan menghasilkan inovasi baru di bidang teknologi.
The National Intelligence Council ((NIC) mengidentifikasi bahwa perkembangan dunia sampai tahun 2015 dibentuk oleh 7 (tujuh) faktor perubah, yakni: Science and Technology. the Global Economy and Globalization. National and in Territorial Governance. Future Conflict, dan the Role of the United States. NIC menempatkan IPTEK sebagai salah satu key drives sampai 2015.
Landasan Teori
1. Pertahanan dan Keamanan. Konsep pertahanan dan keamanan bersifat menyeluruh, meliputi keselamatan negara dan keselamatan masyarakat. Ruang lingkup keselamatan negara terkait dengan kedaulatan negara yang mengharuskannya untuk mengatasi berbagai ancaman yang meliputi militer dan non-militer, konvensional dan konvensional, internal dan eksternal, fisik dan non-fisik.
2. Teori Geopolitik. Sistem politik atau peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografi suatu negara. Beberapa teori terkait dengan ini adalah:
2.1. Teori Wawasan Darat. Teori ini menyatakan bahwa negara merupakan organisme ruang yang tumbuh seperti organisme lainnya. Ruang merupakan kekuatan politik yang vital. Batas-batas negara adalah daerah atau zona asimilasi yang berubah.
2.2. Teori Wawasan Bahari. Teori yang menyatakan bahwa supremasi di lautan adalah dasar kekuasaan.
2.3. Teori Wawasan Dirgantara. Teori ini menyatakan bahwa dalam penggunaan senjata strategis, satu-satunya yang dapat langsung mengarah pada objek vital adalah senjata dengan mempergunakan media angkasa.
2.4. Teori Geopolitik dalam Era Globalisasi. Teori yang menyatakan bahwa dalam masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam geografi dan politik masih tetap, tapi kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin membatasi kekuatan global berupa informasi, investasi, dan industri.
2.5. Teori Perang. Perang tidak lain adalah kelanjutan politik dengan cara lain, menjadi alat untuk tujuan politik. Karena itu tidak boisa dipisahkan dari konteks politik.
3. Teori Pertahanan dan Keamanan Negara di Negara Berkembang. Teori ini menyatakan bahwa ancaman terhadap keamanan internasional dari negara berkembang adalah chaos, aksi kriminalitas dan berbagai kerusuhan politik yang bersifat internal sebagai bentuk konsolidasi yang belum tercapai.
Kondisi Saat Ini
Fungsi pertahanan dan keamanan dengan dukungan alutsista belum memadai dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi tersebut berakibat pada penyelesaian kasus-kasus sengketa wilayah perbatasan, pelanggaran kedaulatan wilayah udara maupun pelanggaran wilayah batas perairan laut oleh kapal perang maupun kapal lain negara asing. Demikian juga terhadap economic international crime yang belum bisa diatasi secara maksimal. Sebagian besar alusista bergantung pada produk negara lain yang berpengaruh pada optimalisasi operasional dan kerawanan embargo maupun larangan politik negara produsen.
Oleh karena itu, pengembangan teknologi atau industri strategis bidang pertahanan dan keamanan harus ditingkatkan. Karena industri dan teknologi di bidang tersebut merupakan bagian penting dari industri strategis dan cermin kemajuan dan kredibilitas bangsa dan negara dalam dunia internasional.
Indonesia memiliki industri strategis bidang pertahanan dan keamanan, antara lain PT. PAL, PT. PINDAD, PT. DI (Dirgantara Indonesia), PT. KS (Krakatau Steel), PT. Dahana dan PT. INKA (Industri Kereta Api). Namun pemanfaatan hasil produksi belum maksimal digunakan oleh end user (TNI dan Polri), karena belum mampu memenuhi kebutuhan penyediaan, pemeliharaan dan modernisasi alutsista. Beberapa kendala dalam pengembangan industri pertahanan dan keamanan dalam negeri juga dialami, antara lain:
1. Kondisi geopolitik.
2. Komitmen dan kebijakan penganggaran.
3. Ketidakpastian dan ketidakberlanjutan produk.
4. Ketersiadaan sumber daya manusia.
5. Kebutuhan investasi.
Atas dasar itu dibutuhkan suatu pengembangan industri strategis bidang pertahanan dan keamanan dalam negeri, melalui keputusan politik negara. Di era globalisasi, ancaman terhadap negara bukan hanya invasi militer, tapi juga invasi terhadap sumber-sumber kekayaan alam yang menjadi sumber kehidupan bangsa dan negara. Fungsi pertahanan dan keamanan tidak hanya bersifat fisik, tapi juga non-fisik. Diperlukan sebuah kajian tentang pengembangan industri strategis bidang pertahanan dan keamanan untuk dapat memenuhi kebutuhan alutsista dalam pelaksanaan fungsi tersebut di atas.
Alutsista TNI jauh dari kondisi memadai. Kemampuan pertahanan matra darat saat ini bertumpu pada kendaraan tempur (Ranpur) berbagai jenis, dengan kondisi siap operasi sekita 60%, dan pesawat terbang sekitar 50%. Kebutuhan alat komunikasi juga masih rawan penyadapan.
Kemampuan matra laut masih kurang ditambah dengan kondisi Kapal Republik Indonesia (KRI), kekuatan pemukul yaitu kapal selam, kapal perusak kawal rudal, kapal cepat roket, kapal cepat torpedo, kapal penyapu ranjau, relatif telah berusia tua. Usia pakai perusaka kawal rudal dan kapal cepat roket melebihi usia 22 tahun. Sementara kapal cepat torpedo dan kapal buru ranjau relatif muda yaitu 16 tahun. Kondisi KRI kekuatan patroli relatif dengan usia pakai 20 hingga 40 tahun.
Jumlah alutsista TNI AU juga terbatas dengan kondisi kesiapan yang rendah. Hanya 11 pesawat dari 23 pesawat angkut udara yang dimiliki TNI AU. Kekuatan pesawat tempur hanya 28% secara keseluruhan dalam kondisi siap beroperasi. Ruang radar Indonesia yang belum terpantau radar (blank spot) juga masih sangat luas. Sebagaian kawasan Indonesia Barat dan Timur seringkali menjadi perlintasan penerbangan gelap.
Fakta menunjukkan bahwa alutsista untuk mendukung kemampuan pertahanan dan keamanan NKRI masih dihadapkan kepada ketergantungan luar negeri. Pemerintah juga relatif sulit mengontrol proses, produksi dan pemasaran hasil industri pertahanan dan keamanan, khususnya setelah adanya kebijakan swastanisasi (BUMN).
Beberapa kendala spesifik terkait dengan pengelolaan industri strategis adalah:
- In-efesiensi pengelolaan.
- Minimnya dukungan finansial dari pemerintah maupun perbankan nasional.
- Mis-manajemen dalam pengelolaan.
- Struktur, instrumen dan kultur yang kurang mendukung.
- Minimnya daya beli TNI sebagai end user untuk menyerap berbagai produksi industri strategis.
- Kurangnya perhatian, pemanfaatan dan sinkronisasi lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta dalam inovasi teknologi pertahanan dan keamanan yang memiliki daya saing.
- Bahan baku baja yang masih bergantung pada produk impor yang mahal dan kurang terdukung produksi baja nasional.
- Pelaksanaan patroli di daerah perbatasan darat maupun laut sangat kurang memadai.
- Penanggulangan bencana alam yang menggunakan alutsista kurang memadai.
- Seringnya terjadi kecelakaan pesawat angkatan udara.
Faktor global dan regional juga turut mempengaruhi kondisi peran dan fungsi pertahanan dan keamanan saat ini. Kondisi global terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pergeseran politik dunia. Globalisasi berorientasi pada politik ekonomi yang membuat negara-negara di dunia, termasuk Indonesia berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.
Kecederungan globalisasi saat ini adalah:
Information Warfare. Suatu aksi yang mengacaukan dan memanipulasi sistem informasi lawan.
Cybernatic Warfare. Peperangan informasi yang melibatkan operasi-operasi untuk mengganggu, melawan, memanipulasi atau menghancurkan pusat-pusat informasi yang ada dalam komputer dan jaringan komputer.
Transnational Infrastructure Warfare. Suatu perang untuk menyerang industri-industri dan sarana vital seperti komunikasi, pembangkit listrik, transportasi, pusat-pusat pemerintahan.
Asyncrhonous Warfare. Penyerangan secara selektif atau ditunda terhadap lawan yang memiliki peluang untuk kurun waktu tertentu.
Pada perkembangan regional, di Asia Pasifik terjadi euforia dan optimisme setelah berakhirnya perang dingin. Hal ini menyebabkan ketidakpastian, instabilitas, dan ketidakteraturan keamanan regional. Kawasan Asia Pasifik juga memiliki benih-benih potensi konflik sebagai bagian konsolidasi menunju era baru pasca-perang dingin.
Kondisi global dan regional berpengaruh pada kondisi nasional. Ancaman yang muncul bersifat internal dan eksternal, potensial maupun aktual, segera maupun akan datang. Kondisi tersebut adalah:
1. Geografi. Ancaman terkait dengan status wilayah perbatasan, status yurisdiksi pulau-pulau terdepan, bencana alam dan postur negara kepulauan.
2. Demografi. Ancaman terkait dengan imigran gelap, human trafficking, pengangguran dan kemiskinan, penyakit infeksi menular, pertumbuhan penduduk yang pesat.
3. Sumber Kekayaan Alam. Ancaman terkait dengan pengrusakan lingkungan hidup, illegal logging, mining, fishing, smuggling.
4. Ideologi. Ancaman terkait dengan menurunnya nilai-nilai kebangsaan, bahaya laten ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
5. Politik. Ancaman terkait bias dan euforia demokrasi yang anarkis, disintegrasi bangsa atau gerakan separatis, pengungsi luar negeri dari negara-negara konflik, spionase asing, terorisme.
6. Ekonomi. Ancaman terkait kejahatan transnasional, kerah putih, korupsi, keterpurukan ekonomi nasional, kesenjangan antar dan intern negara.
7. Sosial Budaya. Ancamann terkait konflik komunal, primordialisme, penyakit menular, pelanggaran HAM.
8. Pertahanan dan Keamanan. Ancaman terkait kejahatan dunia maya, terorisme, separatisme, radikalisme, sabotase, invasi militer, senjata nuklir, radiologi, kimia dan biologi, bias tenaga nuklir.
Kondisi yang Diharapkan
Pertahanan dan keamanan negara yang tangguh akan menjaga dan melindungi kedaulatan negara dari ancaman. Penyelenggaraan negara akan meningkat dan terjaga melalui korelasi signifikan antara penciptaan iklim keamanan yang kondusif dan kesejahteraan yang merata. Indikasi peningkatan tersebut dapat dilihat pada terbangunnya sistem pertahanan dan keamanan negara yang tangguh dengan dukungan politik yang kuat. Hal ini didukung dengan alokasi anggaran yang cukup, perundang-undangan yang menetapkan tanggung jawab masing-masing institusi yang terkait, serta alutsista yang modern.
Indikasi selanjutnya adalah terbangunnya industri dalam negeri yang mampu memproduksi peralatan pertahanan dan keamanan. Hal ini bisa dicapai dengan adanya komitmen untuk menggunakan produksi dalam negeri, sumber daya manusia yang mumpuni dan kemudahan intensif dari pemerintah untuk industri pertahanan dan keamanan. Secara khusus, pemenuhan alutsista dapat dilakukan dengan memanfaatkan produk industri strategis, seperti; menjadikan SS-1 menjadi senjata standar TNI, melengkapi kapal Patroli Perang TNI AL dengan kapal buatan PT. PAL untuk mengawal NKRI, memenuhi keperluan pesawat atau helikopter TNI AU dengan produk PT. DI, melengkapi kembali keperluan revolver 9 mm Polri dengan revolver dan amunisi kaliber 9 mm buatan PT. Pindan, serta melengkapi TNI dan Polri dengan Panser, Ranpur dan Rantis Kendaraan Water Canon buatan PT. Pindad.
Selain itu, dengan terwujudnya indikasi tersebut, kemandirian pertahanan dan keamanan bisa terealisasi. Pada akhirnya akan mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri, menghemat dan menjamin biaya pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan. Dukungan politik pemerintah dan legislatif meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan produk-produk industri strategis Indonesia. Kesepakatan ini disertai regulasi tentang pemanfaatan produk industri pertahanan, akan hidup dan berkembang. Regulasi yang dihasilkan juga memberi ketentuan pemanfaatan sebesar-besarnya produk BUMN tidak hanya di kalangan pemerintah, tapi kalangan lain atau swasta yang memerlukan. Dalam hal permodalan, produksi industri pertahanan dimasukkan dalam APBN. Hubungan baik dengan luar negeri juga perlu ditingkatkan dalam rangka pengembangan teknologi dan industri untuk kebutuhan dalam negeri.
Penutup
Perkembangan global, regional dan nasional akan berdampak negatif bagi upaya perncapaian kepentingan nasional. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan fungsi pertahanan dan keamanan yang mampu menanggulangi kompleksitas jenis ancaman. Prinsip pengembangan industri strategis dalam negeri di bidang pertahanan dan keamanan diarahkan untuk mendukung kemandirian dan mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar. Dukungan regulasi akan menetapkan tanggung jawab insitusi demi kepentingan nasional. Kerja sama eksekutif, legislatif dan pihak swasta akan menghasilkan kebijakan terbaik bagi fungsi pertahanan dan keamanan.
- KTT ASEAN dan Foke
- Pendidikan yang Membebaskan
- Kurikulum Pendidikan dan Mentalitas Bangsa
- Menjaga Rahasia Lembaga Kepresidenan
- Mengawal Momentum Kedaulatan Bangsa
- Pajak Warteg, Operasi Pemiskinan Rakyat Kecil
- Krisis Korea dan Masa Depan Alutsista Indonesia
- Sikap Indonesia Terhadap Konflik Korea
- Mempertegas Kemandirian Bangsa (2)
- Mempertegas Kemandirian Bangsa (1)
- Renungan Hari Jadi Pers:
- PENINGKATAN PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN DARATUpaya Mendukung Pembangunan Nasional
- SWASEMBADA ALUTSISTA
- KONSEPSI PEMBENTUKAN KOMPONEN CADANGAN DALAM PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA
- Menuju Negara Eksportir Alutsista
- Segera Berantas Gerakan NII
- ‘Masa TNI Tempur Pakai Pesawat Bekas?’
- Komisi I DPR Tuding Menkeu dan Menhan Langgar UU
- Menjaga Rahasia Lembaga Kepresidenan
- Kerja Sama Alutsista RI-Korsel Kemungkinan Terganggu
- Fayakhun: Kemenlu dan Kemenhan Patut Dievaluasi
- Presiden Dinilai Kembali Jadikan DPR Tukang Stempel
- Komisi I: Demokrasi RI Berjalan Mundur
- DPR Bukan Tukang Stempel
- Fayakhun Mohon Tifatul Jangan Lagi Keceplos