Keputusan bulat Fayakhun Andriadi melabuhkan pilihan politik pada Partai Golkar setelah melewati tiga tahapan kontemplasi. “Dalam menentukan parpol pilihan, lebih baik jadi buntut naga daripada jadi kepala teri ,“ujarnya, adalah salah satu alasan. Apa saja pertimbangan lainnya?
Berasal dari keluarga pendiri Golkar, tidak serta merta sang anak dari keluarga pendiri melabuhkan pilihan politiknya kepada Partai Golkar. Ada banyak sekali contoh pasca reformasi, beberapa anak pendiri Partai Golkar malah memilih partai selain Partai Golkar sebagai kendaraan politiknya. Bukan hanya itu, mereka yang tercatat sebagai punggawa Partai Golkar pun mengalihkan kemudi politiknya kepada partai lain atau bahkan mendirikan partai baru.
Konstelasi politik yang banyak berubah pasca reformasi telah memberikan pilihan politik yang sangat beragam kepada anak bangsa. Pelabuhan politik tidak lagi sebatas pada Partai Golkar, PDI Perjuangan, ataupun PPP. Ada banyak partai baru bermunculan dan menjanjikan jabatan strategis. Beberapa tokoh politik baru pun dengan cepat bermunculan dari partai-partai baru.
Fayakhun Andriadi merupakan anak pendiri Golkar. Ayahnya Ir. Haditirto Djoyodirdjo, adalah pendiri Golkar Jawa Tengah dan juga tokoh Golkar Nasional. Ir. Haditirto menjadi anggota DPR RI tahun 1968 s/d 1987 dan menjadi pimpinan Fraksi Partai Golkar. Tahun 1987 – 1992 menjadi anggota MPR RI dan menjabat Sekretaris Fraksi partai Golkar.
Fayakhun lahir di Semarang, 24 Agustus 1972. Anak keempat dari lima bersaudara. Diantara kelima bersaudara tersebut, cuma Fayakhun yang terjun ke politik praktis.
Meski merupakan anak pendiri Golkar, Fayakhun Andriadi tidak serta merta menjatuhkan pilihan politik pada Partai Golkar. Dia memutuskan bergabung dengan Partai Golkar pada tahun 2002 setelah melalui tiga tahapan kontemplasi yang sangat panjang.
Tahapan kontemplasi pertama pada saat Fayakhun memiliki KTP. “Ketika sudah punya KTP, saya merasa sudah jadi warga negara dewasa,” ujarnya. Pada saat itu timbul kesadaran politik baru dalam pikirannya: peduli politik atau tidak peduli politik. “Kalau saya tidak peduli politik, kemudian negeri ini salah urus, bangkrut, dan sejenisnya, saya hanya bisa meratapi,” imbuhnya. Pada titik itu kemudian dia memutuskan “peduli politik”.
“Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab. Tetapi jika Negara ini maju maka saya juga bertanggung jawab,” ujarnya.
Pikiran peduli politik Fayakhun pada waktu umur 17 tahunan itu masih sebatas dalam konteks kepentingan kebangsaan secara umum. Itu belum mengantarkan dia untuk mencatatkan diri menjadi anggota salah satu partai yang ada pada saat itu.
Setelah memutuskan peduli politik, maka Fayakhun masuk pada tahap kontemplasi berikutnya. Saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik. Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam rasionya: saya ini harus ikut partai apa? Proses penentuan untuk ikut partai politik “apa” ini berlangsung sangat lama hingga era reformasi muncul. Partai-partai pun bermunculan. Sebagai anak tokoh politik, ditambah kondisi ekonominya yang sudah sangat mapan, tawaran dari banyak partai pun datang kepadanya.
“Saya ini mau ikut partai kecil, dan langsung jadi kepala teri, atau saya ikut partai besar jadi buntut ikan hiu, atau buntut naga,” denyut pikirnya. Pertimbangan itu terus dibawanya, hingga pada akhirnya, sekitar tahun 2002, Fayakhun memutuskan untuk bergabung dengan partai besar dengan pertimbangan,
“Untuk apa saya jadi kepala teri kalau akhirnya ukurannya hanya sebesar teri. Artinya, saya cepat puas, cepat senang, tetapi sebetulnya tempaannya atau penggodokannya tidak maksimal. Ga apa-apa saya jadi buntut naga tetapi disitu saya ditempa, digodok, sehingga ketika suatu ketika saya jadi kepala naga, maka itu pasti sudah melalui tempaan luar biasa dan itu pasti tangguh.”
Pada tahap ini masuklah Fayakhun pada tahap kontemplasi berikutnya: harus memilih partai besar yang mana? Pada awal tahun 2000, ada beberapa partai besar. PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, dan lainnya. Pada akhirnya dia melabuhkan pilihan pada Partai Golkar dengan tiga pertimbangan utama:
- Sumber Daya Manusia Partai. Dibanding partai lain, menurut Fayakhun, Partai Golkar memiliki sumber daya manusia yang sangat teruji, terlatih, pintar-pintar, educated, dan mapan. SDM partai Golkar tangguh, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dari segi kuantitas pun sangat banyak, sudah menyebar di seantero nusantara.
- Infrastruktur Partai Golkar juga sudah establish hingga tongkat kecamatan dan desa sekalipun. Yang bisa menyaingi dalam hal infrastruktur ini –pada awal tahun 2000 itu—hanya PDI Perjuangan. Tetapi menurut Fayakhun Partai Golkar masih lebih baik.
- Demokratis. Di kala partai besar lain masih banyak dibayangi “kepemimpinan kharismatis” dan “tokoh sentral”, Partai Golkar sudah menunjukkan diri sebagai partai modern dan demokratis. Tidak ada tokoh sentral, semua orang punya kesempatan sama untuk menjadi pimpinan, tak peduli dari garis keturunan siapapun atau etnis manapun. Partai pada akhirnya menjadi sangat dinamis dan kompetitif. Yang melaju pasti yang teruji dan kader terbaik.
Fayakhun memutuskan untuk ikut aktif di partai Golkar dengan segala implikasinya, seperti harus siap jadi “buntut” partai. Dan keputusannya itu dia tindaklanjuti dengan aktif mengikuti kegiatan partai, sering berkunjung ke DPP Partai Golkar Slipi, serta menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh Partai .
Tak ada posisi apapun pada tahun 2002 itu. Tapi Fayakhun punya dedikasi. “Kontribusi kepada partai tidak harus punya posisi dulu,” ujarnya. Maka apa pun yang bisa dia perbuat untuk kebaikan dan kemajuan partai, dia lakukan dengan maksimal.
Mengenang masa awal bergabung dengan partai Golkar, Fayakhun mengalami banyak pengalaman yang menuntut kesabarannya. “Awal-awal bergabung sering diakalin orang mulu,” ujarnya. Tapi dari situ dia dapat pengalaman, dapat pelajaran, “oh ternyata gini toh caranya ngakalin orang”, lanjutnya sambil tertawa. Karena berpikir positif seperti itu, Fayakahun akhirnya tabah saja jika diakali seniornya. “Diakali sekali tabah, diakalin dua kali tabah, diakali lagi tabah lagi. Setiap kali diakalin berarti ilmu saya terus bertambah. Jadi itu pengalaman yang menarik,” selorohnya.
Pada Desember 2004, dedikasi Fayakhun kepada Partai Golkar akhirnya diapresiasi oleh kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali. Dari sekian banyak kader partai berkualitas, Fayakhun dipercaya menjadi salah satu Ketua Divisi di Pengurus Pusat Badan Informasi dan Komunikasi (PP BIK) Partai Golkar, atas rekomendasi dari Priyo Budi Santoso kepada DPP Partai Golkar. Ia menjabat posisi yang sesuai keahliannya yaitu Koordinator Divisi Sistem Informasi dan Telekomunikasi (Sisinfotel).
Fayakhun bekerja professional untuk Partai. Berinteraksi dengan kader partai yang kaya pengalaman menbuat dia menjadi semakin matang. Beberapa kepercayaan dari partai pun dia selesaikan dengan nilai bagus.
Memasuki perhelatan Pemilu 2009 dengan tiket nomor urut 2 Dapil II Jakarta, Fayakhun membuktikan diri sebagai kader muda potensial Partai Golkar. Berkaca pada pemilu 1999 dan 2004, DKI Jakarta dikenal sebagai Dapil neraka bagi Partai Golkar. Hanya ada satu kader dari setiap Dapil yang bisa lolos ke Senayan, DPR RI.
Dengan niat mantap, Fayakhun berjuang membuktikan diri bahwa dia bisa diandalkan Partai Golkar. Dia sangat sadar bahwa kemungkinan besar caleg partai Golkar yang lolos ke Senayan dari Dapil II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri) hanya satu orang. Fayakhun optimis melangkah meski harus bersaing dengan mantan-mantan birokrat senior yang lebih dulu berkecimpung di Partai Golkar. Dan sejarah pun akhirnya membuktikan, Fayakhun berhasil merebut kepercayaan masyarakat Dapil II DKI Jakarta untuk memperjuangkan aspirasi mereka di DPR RI.
Tahap “tidak menjadi penonton politik” pun mulai ditapaki Fayakhun secara lebih riil. Berhasil menjadi anggota DPR RI berarti punya kesempatan dan andil untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa.
Selamat berjuang bung! (afr)