JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah sebagai representasi negara harus segera memberantas gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Pemerintah sungguh tidak patut melakukan pembiaran seperti yang terkesan selama ini. Sebab, NII bukan sekadar menumbuhkan radikalisme, sektarianisme, ataupun penyimpangan agama, melainkan terutama merongrong institusi negara.
Demikian rangkuman pendapat sejumlah kalangan kemarin, di Jakarta, menanggapi keresahan masyarakat menyangkut gerakan NII yang disebut-sebut merekrut banyak orang menjadi anggota dan memanfaatkan mereka untuk menggalang dana lewat mekanisme cuci otak.
Mereka yang menyoroti ihwal NII secara terpisah itu adalah anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Yani, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin.
Sementara itu, Polda Metro Jaya menyatakan sudah memonitor kantong-kantong gerakan NII di Jakarta. Di lain pihak, Jaksa Agung Basrief Arief mengaku belum menerima hasil penyidikan polisi atas kasus dugaan pencucian otak oleh kelompok NII.
Menurut Fayakhun Andriadi, pemerintah sangat lamban dalam mengatasi gerakan NII yang sebenarnya begitu nyata membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dia sendiri meyakini, pemerintah melalui Badan Intelijen Negara (BIN) telah memiliki data valid tentang NII sekarang ini. “Tapi yang jadi soal, pemerintah lamban mengatasi masalah NII ini,” ujarnya.
Fayakhun mengingatkan, dinamika sosial politik yang menggunakan agama seperti dilakukan NII berimplikasi negatif terhadap stabilitas pembangunan nasional, termasuk merongrong wibawa negara. Karena itu, pemerintah tidak beralasan membiarkan NII.
Ahmad Yani juga mendesak pemerintah agar tegas menindak NII. Kelompok tersebut harus dipandang dan diperlakukan sebagai ancaman karena berbahaya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Yani, upaya menangani NII ini bukan pekerjaan mudah. Kerja sama lintas sektoral mutlak dilakukan pemerintah, di samping merangkul dukungan masyarakat. “Apalagi keberadaan kelompok NII sangat sulit dijangkau,” katanya.
Yani mengaku pernah ditawari bergabung ke kelompok NII pada 1980-an. Orang yang mengajaknya adalah sahabatnya yang ternyata merupakan mentor NII. “Berkali-kali teman baik saya itu mencoba untuk merekrut saya. Namun, dia tidak berhasil meyakinkan saya,” ujarnya.
Sementara itu, Mahfud MD mengaku heran bahwa pergerakan dan perkembangan NII seolah-olah lolos dari pengamatan aparat negara. Itu, bagi dia, sungguh tak masuk akal. “Gerakan sektarianisme dan radikalisme kok dibiarkan? Pemerintah harus membuat jawaban dalam bentuk langkah konkret,” katanya.
Dalam pandangan Mahfud, keberadaan NII sekarang ini merupakan bentuk pergeseran kesadaran masyarakat terhadap Pancasila. Indikatornya, NII berani muncul ke permukaan. Padahal sebelumnya mereka tidak bisa dan tidak berani berbuat macam-macam.
Menurut Mahfud, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri terkesan gamang dalam menghadapi gerakan NII ini. “Seharusnya Presiden tegas menegakkan Pancasila sebagai ideologi negara,” katanya.
Senada, Ma’ruf Amin menyatakan, pemerintah harus menindak tegas gerakan NII. Terlebih lagi, ujarnya, penelitian MUI pada 2002 menunjukkan bahwa NII melakukan penyimpangan ajaran agama Islam. “Tapi, pemerintah tidak ambil pusing. Entah kenapa,” kata Ma’ruf.
Menurut hasil penelitian itu, MUI menengarai NII adalah kelompok yang bergerak di bawah tanah. NII juga mengajarkan paham radikal dan menyimpang. Justru itu, pemerintah mesti menindak tegas NII.
Pemerintah juga harus giat melakukan proses deradikalisasi di sekolah-sekolah untuk menangkal paham-paham radikal yang kini berkembang pesat di masyarakat. Untuk itu, kata Ma’ruf, pemerintah harus bekerja sama dengan MUI dan ormas-ormas Islam.
Pinggiran Jakarta
Sementara itu, Polda Metro Jaya menyatakan sudah memonitor kantong-kantong gerakan NII di Jakarta. Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman, aktivitas NII sejauh ini baru sebatas menipu masyarakat. Indikasi pencucian otak seperti diresahkan masyarakat sekarang ini, katanya, belum terlihat. “Karena itu, pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal tentang penipuan,” ujar Sutarman.
Kapolda mengemukakan, berdasarkan laporan, para korban mengaku ditipu NII dengan mengatasnamakan agama disertai unsur tindak pencucian otak.
Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya Kombes Pol Sujarno menambahkan, masyarakat harus bekerja sama dengan kepolisian untuk mengungkap gerakan NII ini. Laporan bisa disampaikan lewat SMS ataupun pusat kontak (call center) polisi di 1717 jika ditemukan aktivitas mencurigakan kelompok tertentu atau orang tak dikenal yang melakukan penghasutan.
Tunggu Penyidikan
Di lain pihak, Jaksa Agung Basrief Arief mengaku belum menerima hasil penyidikan polisi atas kasus dugaan pencucian otak oleh kelompok NII. “Kami tunggu penyidik Polri, setelah itu baru kami lakukan penelitian,” kata Basrief, Rabu.
Ditambahkan, dalam 20 tahun terakhir, Kejaksaan Agung belum pernah menangani kasus yang terkait NII. “Kejaksaan terakhir menangani kasus NII yang sebelum ini sekitar tahun 1980-an,” ujar dia.
Kasus dugaan cuci otak oleh NII menimpa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Terkait peristiwa itu, Polda Jawa Timur telah mengantongi data keterlibatan sejumlah nama. Ada tujuh nama masuk kategori “perekrut utama” yakni Najib, Fikri, Rizky, Adam, Anisa, Desi, dan Vina.
Mereka merekrut Maya Mazesta, Reny Septianingsih, dan Agung Arif Perdana Putra. Dua nama terakhir kemudian merekrut Aan Jakhri Fuat yang kemudian mengajak Mahatir Rizky, Revina Efendi, M Ramdhani, Wahyoe Darmawan, Rezza Yuniansyah, M Ricki Kurniawan, dan Fitri Zakiyya.
Kasus lainnya menimpa pegawai Kementerian Perhubungan, Laila Febriani alias Lian, yang sempat dinyatakan hilang sejak 7 April 2011. Hingga akhirnya, petugas Kepolisian Sektor (Polsek) Cisarua, Kota Bogor, Jawa Barat, menemukan Lian di Masjid At-Taawun, Puncak, Bogor. Saat ditemukan, Lian dalam kondisi hilang ingatan serta tidak punya identitas diri.
Jaringan pencuci otak dengan modus doktrin agama ini berkeliaran di kampus-kampus. Karena itulah, pada Jumat 29 April nanti, Kementerian Agama akan mengundang para rektor untuk mengantisipasi kejahatan ini. Sementara itu, Polda Metro Jaya terus memonitor kasus ini, namun tidak tercatat pernah membawa kasus serupa ke pengadilan.
Masih terkait NII, mantan pejabat NII, Kepala Pembinaan NII Komendemen Wilayah 72, Ahmad Nurdin menyatakan, NII KW 9 (wilayah Jakarta dan sekitarnya) adalah NII gadungan.
“Saat itu, saya masih di sana (NII). Pada tahun 1994 sampai 1997, ada keganjilan dari program-program yang dijalankan NII. Dan, saya keluar dari NII itu pada awal tahun 2004,” kata Ahmad Nurdin, saat menggelar jumpa pers di Masjid Al Fajr, Jalan Situsari VI Cijagra, Kota Bandung, Selasa.
Menurutnya, NII KW 9 telah menyalahgunakan ajaran-ajaran agama Islam yang sesungguhnya.
Dikatakannya, Presiden NII KW 9 AS Panji Gumilang, yang berpusat di Pesantren Ma`had Al-Zaytun, melakukan berbagai aktivitas kotor dan jahat hanya untuk suatu kepentingan khusus.
Menurut dia, dalam cara melakukan perekrutan hanya dengan memberikan pemahaman ajaran Islam sebagai pedoman hidup. “Berbeda dengan sekarang, perekrutan yang dilakukan oleh NII gadungan (NII KW 9) dengan cara yang radikal, yaitu cuci otak dan hipnotis,” katanya.
Ia menegaskan, yang dilakukan oleh NII gadungan itu adalah penipuan terhadap umatnya sendiri. (Feber S/Jimmy Radjah/Antara/Sadono)
Suara Karya, Kamis, 28 April 2011