“Komitmen dan keseriusan pemerintah memberdayakan BUMNIP adalah komitmen untuk mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki kemandirian alutsista.”
Miris, itulah barangkali kata yang dapat mewakili perasaan saya, tatkala dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I dengan jajaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Panglima TNI (Rabu, 6/7), mendengar paparan Kemenhan pada saat itu, yaitu masih sangat rendahnya anggaran negara untuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari industri dalam negeri sendiri. Dari Rp 9 triliun usulan APBNP 2011, hanya 25 persen atau Rp 2 triliun untuk belanja dalam negeri. Sementara Rp 7 triliun (masih saja) direncanakan untuk membeli impor alutsista dan suku cadangnya.
Meski anggaran ini belum sampai direalisasikan, namun tergambar jelas sikap ketidakseriusan dan lemahnya komitmen pemerintah dalam mewujudkan kemandirian alutsista dalam negeri. Pemerintah gencar melakukan belanja alutsista dari luar negeri, dan cenderung tidak mempercayai dan tidak memberikan kesempatan kepada industri pertahanan di dalam negeri sendiri, hingga BUMNIP terancam bangkrut dan hancur berantakan. Inilah di antara ironi yang terjadi di negeri ini.
Indonesia memiliki capaian kemajuan yang sangat penting dalam pengembangan industri pertahanannya. Jauh sebelum Orde Baru berkuasa, Indonesia telah mengembangkan industri dalam bidang ini, yaitu pada tahun 1954 dan 1958, dimana putra-putri Indonesia berhasil membuat pesawat latih dasar. Baru pada masa Orde Baru, tahun 1976, Indonesia mampu membuat sejumlah pesawat, helikopter, komponen pesawat, prototype panser, misil, roket, torpedo, dan alutsista lainnya. Industri ini dikembangkan oleh PT Nurtanio, kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN), dan kini bernama PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Yang sangat membanggakan adalah Indonesia sesungguhnya sudah mampu membuat pesawat yang standar mutunya telah diakui kalangan dunia internasional. Sejumlah negara-negara di Asia, Eropa, dan Timur Tengah banyak yang memesan produk-produk alutsista buatan putra-putri Indonesia. Di antaranya, Malaysia, Filipina, Brunei, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Turki yang memesan pesawat jenis CN 235. Indonesia mengeskpor suku cadang untuk Boeing, Airbus, General Dynamic dan Fokker.
Selain itu Indonesia juga mengekspor peluru ke Singapura, Bangladesh, dan Amerika.Panser jenis Anoa 6×6 dipesan oleh Kerajaan Oman dan Malaysia. Demikian juga dalam produksi kapal, Indonesia mengekpor jenis kapal Chemical Tanker 6.200 DWT ke Italia.
Belum lama ini, Burkina Faso-Afrika Barat, Senegal Afrika, memesan CN 235 jenis pesawat angkut militer VIP, Korean Coast Guard memesan CN 235 jenis Maritime Patrol Aircraft (MPA).
Melihat capaian ini, terbukti industri pertahanan dalam negeri kita sangat pantas dibanggakan karena mampu bersaing di kancah dunia internasional. Hanya saja, kini terancam bangkrut, sehingga diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah dalam memajukan industri pertahanan dalam negeri dan menjaga nya agar tumbuh menjadi semakin besar.
Industri Pertahanan adalah industri yang sarat dengan kepentingan politik sebuah Negara. Kemandirian produksi alutsista Indonesia, menjadikan Indonesia tidak bergantung kepada Negara lain, sehingga disegani oleh lawan dan mampu menggalang kawan/aliansi dengan Negara-negara lain yang juga membeli alutsista buatan Indonesia. Kekuatan bersenjata masih menjadi pilihan selain kekuatan ekonomi dan kekuatan informasi, dalam perang moderen.
Karena menjadi keputusan yang ironis ketika pemerintah memiliki kebijakan untuk mengimpor alutsistanya dari luar negeri. Sementara negara-negara lain membeli hasil produksi kita, pemerintah kita sendiri malah lebih banggadengan hasil produksi alutsista negara lain. Sehingga seringkali alutsista kita “dilarang” digunakan ketika ada Negara lain yang merasa terusik kepentingannya. Lalu dimana letak Martabat sebagai Bangsa yang Berdaulat?
Kebijakan impor alutsista jelas sangat melukai hati rakyat Indonesia.Pemerintah Indonesia tidak dapat menutup mata dengan kondisi sejumlahperusahaan yang tergabung dalam kelompok Badan Usaha Milik Negara IndustriPertahanan atau Industri Strategis (BUMNIP/IS) kini meradang, karena kurangmendapat perhatian.Sayangnya lagi, pemerintah Indonesia lebih banyakmengimpor produk-produk alutsistanya dari perusahaan-perusahaan luar negeri.
Sebut saja, PT Pindad yang memproduksi senjata, kendaraan tempur, danamunisi.Sementara tahun lalu (2010) masih terjadi pembelian panser buatan Korea Selatan, dari sebuah perusahaan alutsista Korea Selatan, yang belum pernah menjual 1 unit pun kepada angkatan bersenjata Korea Selatan. Senjata masih banyak impor, dengan alasan untuk kebutuhan pasukan khusus, peluru kaliber kecil pun masih ada yang impor, padahal Pindad sudah terbukti mampu membuatnya. Padahal sebuah industri sangat bergantung pada nilai keekonomisan dari suatu produk dan kontinuitas proses produksi. Apabila tidak ada order, maka mesinproduksi yang menganggur akan lebih cepat rusak sehingga harus tetap dirawat dan karyawan harus tetapdigaji.
Pindad yang telah mampu membuat aneka bom dan ranjau laut berisi bahanpeledak hingga 750 kilogram, kini mesin-mesinnya menganggur.Sebuah contoh ironi :P indad mampu produksi bom tajam MK-82 untuk pesawat F-16,namun pemerintah memilih impor dari Spanyol.
PT. Krakatau Steel (KS) yang memproduksi bahan-bahan keperluan untukproduksi senjata PT Pindad itu juga kurang mendapat perhatian.Terbukti peluru yangdihasilkan Pindad itu belum semua komponennya bukan produksi dalam negeri,melainkan masih terdapat kandungan impor.Kondisi ini jelas bukan tidak mampu dipenuhi PT KS, namunkarena keterbatasan anggaran yang dimiliki perusahaan serta dukungan pemerintah yang sulit diharapkan, semuanya itu menjadikan sulit bagiindustri kita untuk maju.
Order dari Dephan kepada Pindad berupa Panser Anoa 6×6 sebanyak 150unit—perunit Rp 7 miliar, namun dalam praktek kenyataannya tidak mulus.Karena faktor anggaran, pesanan ini dicicil. Misalnya saja, tahun 2009,mestinya Dephan membeli 80 unit, namun hanya terbeli 60 unit. Kelebihan produksi 20unit ini menjadi persoalan inventori bagi Pindad dan jelas merugikan cash flow perusahaan.
Apa yang dialami oleh Pindad, juga tak beda dengan nasib pada PT DI.Perusahaan yang memproduksi pesawat ini setiap tahunnya, menerima order daripemerintah rata-rata tidak pernah mencapai 25 persen alias seperempat dari kapasitas produksi PT DI. Kini, PT DI rata-rata hanya membuat tiga hingga empatunit pesawat pertahun, selebihnya adalah produksi komponen pesawat.Padahal,pada masa Habibie, perusahaan ini (dulu IPTN) sangat jaya dan perusahaan inimerupakan kebanggaan nasional.
Tidak jauh berbeda dengan dua saudaranya, perusahaan BUMNIP yang satu iniyakni PT PAL juga mengalami kondisi yang sama. Bahkan sejak tahun 2007hingga 2009, perusahaan ini terus menerus dirundung kerugian, sekalipunsecara grafik menunjukkan menurun. Bila tadinya Rp 443 miliar, tahun 2008ruginya sudah berkurang menjadi Rp 96 miliar, dan di tahun 2009 hanya Rp 30miliar.
Untuk membenahi kerugian, pemerintah pernah menjanjikan kucurandana talangan sebesar Rp 45 juta dollar atau sekitar 620,4 miliar. Meskirelatif masih kecil dibanding yang diajukan pemerintah, 60 juta dollar,namun itu telah menumbuhkan ekspektasi yang cukup besar. Hingga akhir tahun 2008 lalu, dana ini tidak kunjung terealisir. Baru pada pertengahan Juli 2011, berkat desakan DPR, pemerintah akhirnya menyetujui pemberian dana talangan tersebut. Ironisnya,ada kesan kuat pemerintah mengabaikan perusahaan ini, ketika mereka dimintauntuk mencari uang sendiri, namun pemerintah tidak memberikan “afirmasi” order kepada perusahaan.Begitu juga pemerintah terkesan kuat membiarkan perusahaan inimenghadapi situasi “free fight competition”. Sejarah kemudian mencatat, bahwa Komisi 1 DPR-RI pada pembahasan APBNP-2011 memaksa pemerintah untuk membelanjakan “hanya” ke BUMNIP sebesar 2 trilyun rupiah. Bagaimana komitmen pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang alutsista?
Tolak Impor Alutsista
Impor alutsista jelas bukannya menguntungkan, malah lebih banyak merugikan kepentingan dalam negeri sendiri.
Pertama, dari segi devisa negara.
Kondisi ini sangat jelas akan menguras anggaran negara kita, demi keuntungannegara lain. Dapat dibayangkan bila anggaran yang sangat besar itudialokasikan seluruhnya untuk pengembangan industri pertahanan dalam negeri.Saya mendesak pemerintah agar anggaran yang besar itu untuk memenuhikekuatan pokok minimum atau “minimum essential forces” (MEF) TNI, yaknisebesar Rp 150 triliun selama periode 2011-2015. Pemenuhan anggaran inisangat mendesak bila melihat kondisi alutsista kita yang masih sangat
memprihatinkan.
Pengalokasian anggaran itu harus diarahkan pada revitalisasi industripertahanan dalam negeri. Yakni, melakukan pembenahan pada manajemenperusahaan-perusahaan BUMNIP dan pengembangan industri pendukung lainnya,seperti PT Krakatau Steel dan PT Palindo yang menyuplai kebutuhan bahandasar pembuatan alutsista. Dalam kaitan ini, maka bagi industri-industripendukung ini, yang membeli bahan baku alutsista dari luar negeri itu,pemerintah perlu memberikan keringanan insentif fiskal dan bea masuk. Denganbegitu, biaya yang dikeluarkan bisa ditekan, harga menjadi lebih murah.
Pemenuhan kebutuhan alutsista TNI harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan BUMNIP, bukan berdasarkan impor dari luar negeri. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan BUMNIP dapat bergeliat lagi, sumberdaya manusia kita yang di luar negeri dapat kembali ke tanahair, dan tentunya roda ekonomi nasional pun akan tumbuh semakin baik.
Untuk mencapai MEF memang butuh waktu. Waktu 15 tahun, saya kira cukup untuk Indonesia mencapai itu. Dengan berbagai pencapaian yang telah didapat selama ini, serta komitmen bersama dalam revitalisasi industri pertahanan dalamsetiap perencanaan seperti penguasaan teknologi, penyiapan sumberdaya manusia, dan penyiapan anggaran, maka diharapkan MEF itu dapat tercapai.
Perlu keseriusan pemerintah dalam mewujudkan MEF ini dapat terlaksana.
Kedua, ancaman kedaulatan negara.
Saat ini, supremasi pertahanan dan kedaulatan negara terletak bukan pada besar kecilnya personil angkatan, namun pada penguasaan teknologi. Bila kita tidak mampu menguasai itu, sangat mungkin kita kalah dengan negara lain. Dalam kepemilikanpesawat, misalnya, kita bisa bangga memiliki Sukhoi , namun kita tidakpernah tahu apakah ada kode-kode dalam komputer pesawat itu yang bilamendapat perintah tertentu dari negara asalnya, pesawat tersebut bisa jatuh.Artinya, bagaimanapun kita melatih pilot hingga pintar menerbangkan, namun bila kita tidak menguasai komputer pada pesawat itu sulit rasanya kita bisa unggul.
Kasus inilah yang pernah terjadi pada tahun 2009, ketika terjadi ter-lock-nya pesawat Sukhoi milik Indonesia yang sedang mengudara oleh radarbidik lawan.Penyebab ini tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh TNIsaat itu. Hal inilah yang menguatkan dugaan bahwa kita memang tidak menguasai teknologinya.
Kita bisa belajar dari negara lain seperti Malaysia, yang membeli hanya “hardware”-nya saja. Yaitu saat membeli Sukhoi 1 skuadron (12 unit), teknologi avioniknya diambil dari Prancis, dan softwarenya mereka kembangkan sendiri. Demikian juga yang dilakukan oleh India.
Dengan begitu, bila sekali waktu berhadapan dengan negara produsennya, mereka dapat terhindar dari kemungkinan risiko sabotase yang di-implan di dalam tanpa diketahui. Karena mustahil bagi mereka, menjual pesawat bilapada akhirnya akan merugikan kepentingan negaranya sendiri.
Untuk mengatasi semua ini, yang paling utama dan terutama adalah komitmendan keseriusan pemerintah, sehingga berbagai persoalan yang selama inidihadapi oleh BUMNIP tidak lagi terulang. Persoalan klasik berupaketerbatasan dana, sudah harus diakhiri. Penganggaran yang masih kecil,diarahkan harus didorong untuk lebih besar lagi.Komisi I DPR RI dalam halini, memiliki peran yang sangat strategis dalam mendorong penyediaan anggaran yang proporsional bagi pengembangan industri ini.
Yang tak kalah penting adalah pembatasan atas barang-barang impor alutsista asal luar negeri. Upaya ini sebetulnya oleh pemerintah telah dilakukan, namun lagi-lagi kondisinya masih minimal. Pemerintah sudah memberikan pembatasan terhadap barang impor dengan membuat daftar barang-barang militer yang tidak boleh diimpor karena sudah dapat diproduksi oleh perusahaan dalam negeri. Setiap aplikasi impor harusmendapat persetujuan yang lebih detail dengan terlebih dahulu mencarispesifikasinya di dalam negeri. Hanya saja, dalam praktiknya, forum sepertiini sangat kental lobi kepentingan dari masing-masing pihak di dalamnya.Jadilah, “daftar barang-barang militer yang sudah boleh impor” itu hanya di atas kertas saja.
Semoga ke depan komitmen dan keseriusan pemerintah mewujudkan cita-cita kemandirian alutsista Indonesia bisa berjalan konsisten.