Komisi I Nilai ACFTA sebagai Penjajah

Perlu Dibentuk Panitia Kerja Lintas Komisi

Jakarta, RM. Perdagangan bebas dengan China yang dibungkus dalam kerjasama perdagangan bebas Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan bentuk penjajahan ekonomi. Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu harus bertanggung jawab atas kebijakannya tersebut.

Demikian disampaikan anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi di Gedung DPR Jakarta, kemarin. Menurutnya, perdagangan bebas dengan China merupakan ancaman serius bagi ketahanan ekonomi bangsa Indonesia. "Inilah yang disebut economic warfare (penjajahan ekonomi). Sekilas memang biasa. Tapi sesungguhnya dampaknya sangat luar biasa bagi bangsa kita," katanya serius.

Makanya, lanjut anggota DPR dari Fraksi Golkar ini, karena menyangkut ketahanan, Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, informasi dan luar negeri sangat concern dengan masalah ACFTA ini. "Masa' kemerdekaan yang sudah kita perjuangkan dengan keringat, darah dan nyawa begitu saja kita biarkan, nggak bisa," tandasnya.

Dia menunjuk sumber-sumber ekonomi vital Indonesia yang saat ini sangat jelas terancam bangkrut. Pertama, industri kimia, karena industri tekstilnya bangkrut terlebih dahulu. Kedua, industri kecil karena China juga mengekspor komoditi paling kecil seperti korek api dan paku. Ketiga, dunia kedokteran yang membolehkan jual beli organ tubuh itu legal. Dan keempat, industri tradisional budaya, batik.

Berdasarkan analisa ahli ekonomi, Kata Fayakhun, perdagangan bebas dengan China akan menguras neraca perdagangan sebesar Rp30 triliun perbulan. Karena itu, dirinya akan menggalang kekuatan bersama-sama Komisi V, VI dan XI untuk memuluskan pembentukan Pansus ACFTA-gate.

“Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu harus bertanggungjawab. Kebijakan yang dia buat berdampak luar biasa sistemik. Kalau Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun saja dibentuk pansus, nah ini yang Rp360 triliun neraca perdagangan kita bobol, masa kita biarkan begitu saja," tandas politisi partai berlambang beringin ini.

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima mengatakan, usulan pembentukan pansus tidak berlebihan, karena kerugian yang diakibatkan pelaksanaan ACFTA dikhawatirkan akan melebihi kasus bailout Bank Century.

“Jika belum ada renegosiasi dari pemerintah, kerugian yang terjadi dikhawatirkan akan melebihi kasus bailout Bank Century. Karena itu usulan tersebut tidak berlebihan,’ ujarnya.

Menurut Aria Bima, Pimpinan DPR pada November dan Desember 2009 sebenarnya sudah mengirimkan surat kepada Presiden mengenai permintaan tentang peninjauan ulang ACFTA. Namun Sekretariat ASEAN menyatakan belum pernah menerima surat permohonan renegosiasi dari pemerintah.

“Dengan sikap seperti ini, dapat dilihat bahwa pemerintah tidak menunjukkan upaya serius untuk menyehatkan industri dalam negeri,” ujarnya kemaren.

Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Edy Prabowo menegaskan, kesepakatan yang ada di Komisi VI baru membentuk panja. Panja ACFTA akan bertugas meneliti dampak pelaksanaan ACFTA terhadap pelaku usaha nasional dan tenaga kerja. “Kalau kawan-kawan di komisi lain semangat ingin membentuk pansus, ya silahkan saja,” tegasnya.

Edy mengatakan, masalah ACFTA tidak harus diselesaikan melalui pansus. Karena, sejauh ini pemerintah masih kooperatif dengan DPR. “Mereka masih terbuka kok dengan dewan. Lain halnya jika memang pemerintah sudah tidak mau lagi mendengarkan pertimbangan DPR,” cetusnya.

Sumber: Koran Rakyat Merdeka, hal. 8, Rabu 27 Januari 2010

Politik
BERITA

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)