JAKARTA (Suara Karya): DPR menilai bahwa tingginya biaya pendidikan telah melanggar hak konstitusi warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan terjangkau.
Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI Fayakhun Andriadi mengecam banyaknya dan tingginya pungutan diberbagai sekolah maupun perguruan tinggi, sehingga ia mendesak aparat berwenang untuk menertibkannya.
“Lembaga pendidikan sekarang semakin jadi institusi komersial, tempat mencari untung, ketimbang sarana mencerdaskan kehidupan rakyat dan badan sosial,” kata di Jakarta, akhir pekan lalu.
Anggota DPR dari daerah pemilihan (Dapil) DKI Jakarta itu mengungkapkan hal ini setelah memonitor langsung penerimaan siswa baru (PSB) di sejumlah sekolah, juga penerimaan mahasiswa baru.
“Dari temuan langsung dan juga setelah mendapat informasi dari berbagai tempat, saya berkesimpulan, tidak ada gunanya peningkatan anggaran negara menjadi 20 persen dari APBN untuk bidang pendidikan,” katanya.
Sebab, menurutnya, dimana-mana sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tertentu tetap saja menarik pungutan tidak jelas dari siswa maupun mahasiswa baru.
“Apa gunanya ada dana bantuan operasional sekolah (BOS), jika siswa baru dibebani uang pembangunan, uang buku, uang seragam dan segala macam tetek bengek. Begitu pula di tingkat perguruan tinggi, pungutannya lebih menggila lagi,” tuturnya.
Fayakhun Andriadi lalu mengemukakan kasus di berbagai fakultas di perguruan tinggi tertentu sama saja dengan menjual kursi kuliah kepada calon mahasiswa.
“Ayo, jika kamu punya Rp 150 juta, silahkan saja ambil kursi di Fakultas Kedokteran perguruan tinggi anub & Ini realitas. Walaupun memang tidak dengan cara menjual seperti itu. Tetapi, para calon mahasiswa ditarik ratusan juta baru bisa masuk kampus. Ini gila khan,” tandasnya.
Dia punya data beberapa fakultas di sejumlah perguruan tinggi yang punya cara-cara kotor seperti itu, baik di Jakarta, Jabodetabek, bahkan di luar Jawa hingga ke Sulawesi Utara.
Misalnya saja dari Manado, menurutnya, ada informasi, untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), si calon mahasiswa dibebani target antara Rp 150 hingga Rp 250 juta.
Cara-cara seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sehingga perlu investigasi khusus, tak saja di Unsrat, tetapi di beberapa perguruan tinggi lain.
“Pantas saja banyak perguruan tinggi punya rekening liar. Dan untuk seluruh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) barusan mengumumkan ditemukannya 43 rekening liar itu,” ujarnya.
Fayakhun Andriadi memastikan, pasti di banyak tempat juga ada kasus seperti di Unsrat dan beberapa perguruan tinggi lainnya, sehingga ini semua perlu ditertibkan, agar pendidikan itu merata serta adil dinikmati semua warga, sesuai amanat konstitusi. (Rully/Ant)
Sumber: Suara Karya, Senin, 18 Juli 2011