(JAKARTA) – Percuma saja anggaran pendidikan dalam bentuk ‘mandatory’ 20 persen dari APBN diberikan kepada sektor pendidikan. Ternyata, meningkatnya anggaran (pendidikan) itu, berbanding lurus dengan terus menaiknya juga pungutan liar serta berbagai kutipan saat penerimaan siswa maupun mahasiswa baru di mana-mana.
“Untuk masuk SD hingga SMP, ada sekolah yang mengenakan tarif antara tiga sampai tujuh juta rupiah. Sedangkan SMA bisa lima sampai 10 juta. Lalu untuk perguruan tinggi, misalnya fakultas kedokteran, bervariasi antara Rp150 sampai Rp250juta. Ada apa sebenarnya di dunia pendidikan kita yang cenderung spirit komersialisasinya tinggi sekali,” tanya Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI, Fayakhun Andriadi, di Jakarta, Rabu (13/7).
Karena itu, ia mengingatkan Pemerintah agar jangan menutup mata dengan berbagai laporan terjadinya pungutan di luar ketentuan dalam proses penerimaan siswa baru (PSB), juga penerimaan mahasiswa di berbagai fakultas di Tanah Air.
“Segera bertindak dan beri sanksi tegas kepada para kepala sekolah atau pimpinan sekolah yang bersangkutan,” tandasnya kepada ANTARA, sebagaimana dipantau IPOSnews.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) DKI Jakarta ini mendesak aparat berkompeten segera turun lapangan untuk mengatasi maraknya.
“Jangan menunggu laporannya, lalu mengatakan, sesuai teori atau aturan, tidak ada, atau pernyataan ‘asbun’ lainnya yang hanya berdasar laporan para birokrat yang terkesan’abs’,” tandasnya.
Ia menyayangkan perilaku para birokrat di lingkup Pendidikan Nasional yang menganggap PSB atau penerimaan mahasiswa baru sebagai lahan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Kalau sudah begitu, demikian Fayakhun Andriadi, ‘mandatory’ anggaran sebesar 20 persen APBN kepada sektor pendidikan, menjadi tidak jelas.
“Buktinya, biaya PSB tidak ada bedanya ketika kebijakan belum diterapkan. Malah ada kecenderungan terus meningkat. Coba cek langsung keadaannya. Baik sekolah maupun perguruan tinggi sekarang sangat mahal biaya masuknya. Tidak ada yang gratis, seperti didengung-dengungkan,” tandasnya.
Fayakhun Andriadi lalu menyorot kritis tentang tingginya permintaan beberapa fakultas tertentu (utamanya Kedokteran) yang memasang tarif antara Rp150 juta hingga Rp200 juta kepada calon mahasiswa.
“Memangnya ini yang dimaksud dengan pemerataan pendidikan dan keadilan bagi seluruh warga memperoleh pendidikan yang layak? Berarti khan hanya orang tertentu saja yang bisa sekolah di tempat tertentu,” tandasnya.
Elite Tak Tahu
Fayakhun yang sehari-harinya bertugas di Komisi I DPR RI ini menambahkan, dia sendiri memperoleh banyak temuan di seputar Jakarta Selatan mengenai terjadinya pungutan-pungutan liar tersebut.
“Malahan, ada seorang bapak yang sehari-harinya hanya bekerja sebagai tukang bangunan dengan upah harian sampai dibuat putus asa, karena diharuskan menyetor lima hingga tujuh juta baru bisa anaknya diterima di sebuah SMP,” ungkapnya.
Namun di tataran elite, menurut Fayakhun Andriadi, tetap saja temuan-temuan ini dianggap ‘tidak ada’, atau cepat-cepat mengeluarkan pernyataan segera akan ditindak.
“Tetapi, jika sudah ada komplain besar-besaran, seperti kasus kecurangan atau contek massal di beberapa sekolah saat UN dulu, baru bikin pernyataan membela diri dan menyalahkan yang lain,” ujarnya.
Dia memastikan, banyak elite di jajaran Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tidak tahu tentang permainan di tingkat sekolah hingga pengawas di kecamatan.
“Ada permainan di sana. Banyak yang masih suka ‘ngutip. Dan di tataran elite, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu,” ungkapnya lagi.
Karena itu, Fayakhun Andriadi mengusulkan adanya tim independen melakukan investigasi, karena pihak instansi berkompeten sibuk urusan rutin yang lain.
Sumber: iposnews, Wednesday, 13 July 2011 15:53