Tidak ada yang berbeda dari aktifitas saya setiap pagi hari : berangkat ke kantor. Juga tidak ada yang berbeda dari aktifitas saya di sore/malam hari : pulang menuju rumah. Dan setiap hari saya melihat pemandangan yang sama, yang cukup mengganggu akal sehat saya, namun terus terjadi setiap hari. Terlihat jelas bagaimana lemahnya wibawa pemerintah (dalam konteks ini Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta), yang memiliki Perda namun terjadi pelanggaran perda secara massif, setiap hari, didepan mata, dan dibiarkan. Ya. Kali ini yang saya maksud adalah JOKI 3 in 1.
Setiap pagi hari, terjadi hiruk pikuk suara bising dari knalpot kendaraan yang berlomba untuk sampai ke tempat kerja. Setiap pagi, di jalan Pakubuwono VI, di Jalan Asia Afrika, di Jalan Pintu Satu Senayan, yang selalu saya lewati menuju tempat bekerja, terlihat deretan para joki yang berdiri mengular di bahu-bahu jalan, dan saya yakin bahwa pemandangan ini terlihat di sepanjang jalan-jalan protokol kota Jakarta.
Ya, para joki 3 in 1 memang merupakan fenomena yang hingga saat ini menjadi bagian dari kisah kelam dari buruknya tata kelola pembangunan kota Jakarta, khususnya dalam konteks pengelolaan transportasi kota Jakarta.
Padahal, beberapa carik kertas putih yang bertuliskan Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 tanggal 23 Desember tahun 2003 tentang Penetapan Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Dan Kewajiban Mengangkut Paling Sedikit 3 Orang Penumpang Perkendaraan Pada Ruas-Ruas Jalan Tertentu di Provinsi DKI Jakarta yang saat ini tertata rapih di Gedung Pemerintah DKI Jakarta masih nampak baru, warnanya tak begitu kusam, bahkan aromanya pun belum begitu lapuk.
Sayang, Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta 2007-2012, benar-benar membuat saya selaku warga DKI Jakarta frustasi, sepertinya tak mampu menangkap semangat dan substansi dari peraturan yang dikeluarkan oleh pendahulunya tersebut. Tanpa pertimbangan dan perencanaan yang matang Foke dengan percaya diri menyebut dirinya sang ahli (kampanye Pilkada 2007) yang mampu mengatasi permasalahan kota Jakarta, termasuk persoalan 3 in 1 ini.
Nyatanya, hingga hari ini setelah hampir delapan tahun berlalu sejak peraturan tentang 3 in 1 tersebut diterapkan keberadaan joki 3 in 1 tak pernah selesai. Jumlah mereka dari hari ke hari malah makin bertambah. Bahkan di antara sebagian warga Jakarta, ada yang menjadikan pekerjaan joki 3 in 1 sebagai profesi.
Profesi sebagai joki 3 in 1 memang dianggap lebih baik ketimbang menjadi pemulung, pencopet atau bahkan penjaga toko sekalipun. Iseng-iseng saya mengajak mereka bicara, terungkap dalam sehari pendapatan para joki tersebut bisa mencapai Rp 80.000. Artinya, bila tidak apes, dalam waktu sebulan pendapatan mereka di atas UMR para pekerja di Jakarta.
Program pembangunan kota Jakarta yang dinahkodai Gubernur Fauzi Bowo memang tak memberikan pilihan yang lebih baik. Sehingga warga Jakarta sering terjebak dalam pilihan hidup yang sulit. Sudah jatuh tertimpa tangga, setelah terdampar dalam kehidupan yang serba sulit warga Jakarta juga harus dihadapkan dengan represivitas perangkat pemerintahan daerah (satpol PP) karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan menyalahi peraturan.
Meski memiliki pendapatan yang lumayan, paling tidak untuk membayar sewa kontrakan dan biaya hidup sehari-hari, para Joki 3 in 1 tak ubahnya berlayar dengan perahu di laut yang kaya ikan namun banyak karangnya. Dimana kesempatan untuk menangkap ikan sama banyaknya dengan kesempatan menabrak karang.
Untuk mendapatkan hasil yang banyak, tak jarang ia mesti turun dari perahu lalu berdiri di atas karang dan menjaring sang ikan. Dengan sigap ia pun harus segera bekerja. Terlambat beberapa detik saja, maka jangan harap membawa pulang ikan hasil tangkapan, yang ada malah babak belur.
Kalau bukan karena terpaksa, tentu tak ada satu pun warga Jakarta yang mau berprofesi sebagai Joki, selain karena pekerjaan tersebut terlarang, risiko yang dihadapi pun teramat besar. Bila tidak sigap, bisa saja mereka terjaring razia. Digelandang ke lokasi penampungan lalu direhabilitasi selama satu minggu. Sesekali, bila para petugas kalap, sedikit tamparan pun melayang ke wajah mereka. Sementara untuk bisa lolos dari kejaran aparat satpol PP, para Joki harus berlarian ke badan jalan. Bila beruntung mereka selamat, bila apes mereka pun diseruduk kendaraan yang melintas, nyawa pun melayang.
Pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini Fauzi Bowo seakan tak pernah membuka mata. Bahwa munculnya berbagai permasalahan sosial di Jakarta termasuk fenomena joki 3 in 1 merupakan buah dari kekeliruan mereka dalam mengelola Jakarta. Mata hati Fauzi Bowo seakan telah tertutup, sehingga sulit sekali memahami inti dari setiap masalah yang muncul dalam masyarakat Jakarta.
Selama kepemimpinannya Fauzi Bowo terlalu mengedepankan proses-proses administratif, sehingga terasa sangat kaku, dan kurang memihak masyarakat lapisan bawah. Aktivitas ekonomi rakyat kecil lebih sering dianggap sebagai ‘mengganggu ketertiban umum’. Atas nama ketertiban umum pemerintah DKI banyak melakukan kekerasan terhadap masyarakat kecil.
Di sepanjang tahun 2010 misalnya, untuk daerah Jakarta Pusat saja Pemerintah DKI telah merazia hampir 1.490 joki 3 in 1. Dan menurut laporan LBH Jakarta, proses razia yang dilakukan satpol PP tersebut kerap disertai dengan kekerasan. Sementara itu, laporan lain yang dilansir oleh Institute Ecosoc Rights (2009), pemerintahan Fauzi Bowo telah memecahkan rekor penggusuran dalam sejarah pemerintahan kota Jakarta. Dimana korban setiap bulannya mencapai hampir 3.200 orang.
Apakah seorang ahli tata kota lulusan Jerman harus meniadakan hati? Tidakkah ia ingat dengan apa yang dinasihatkan Lao Tzu bahwa “A leader is not an administrator who loves to run others, but someone who carries water for his people so that they can get on with their jobs. Leadership is an opportunity to serve. It is not a trumpet call to self-importance. If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader.”
Sepertinya, Fauzi Bowo perlu segera insyaf dan mulai membuka matahatinya agar tumbuh kepekaan sosial dalam dirinya dan dapat menjaga hubungan yang lebih baik dengan warganya. Sehingga mampu merasakan apa yang dirasakan oleh warga Jakarta. Dengan begitu, Foke akan mampu memberikan pelayanan yang dibutuhkan orang lain, service orientation. Bukan mengambil apalagi memanipulasi hak-hak orang lain.
Akhirnya, semua warga Jakarta hanya bisa berharap, agar dalam diri Fauzi Bowo muncul setitik hati sehingga ia tidak hanya melakukan Politik Pencitraan, namun juga Mampu Berbuat, kebijakan apa pun yang ditetapkan termasuk terkait masalah joki 3 in 1 dapat dijalankan dengan bijak dan manusiawi.**