Sebuah pemandangan umum sehari-hari, menurut saya tidak normal, tidak manusiawi, namun terlihat sepanjang hari : Pengemis anak-anak. Sebuah ironi, di tengah hiruk pikuk kehidupan warga kota Jakarta yang seakan tak pernah lelah beradu nyali untuk menyasar paradigma peningkatan kualitas hidup, terlihat anak-anak kecil tampak asyik menunggu di sudut-sudut kota, berusaha bertahan hidup, berusaha ikut menikmati kualitas hidup yang dihasilkan dengan mengemis. Hati siapa pun tentu saja sebetulnya akan miris lalu muncul keinginan untuk mengulurkan tangannya, paling tidak agar mereka juga ikut merasakan manisnya hidup. Hanya saja, cara tersebut tentu saja kurang tepat, karena justru akan menimbulkan permasalahan baru.
Yang lebih menyedihkan lagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seakan malah melakukan pembiaran. Hujaman kritik paradigmatik terus mengalir, hanya saja Gubernur Fauzi Bowo seakan tak bergeming. Kalau pun ada tindakan, tak ubahnya seperti mengatasi kebakaran yang menimpa rumah-rumah warga Jakarta. Yang terpenting baginya adalah si jago merah yang melalap rumah-rumah warga dapat dipadamkam, persoalan besok atau lusa terjadi kebakaran lagi itu hal lain.
Padahal, kebanyakan pengemis tersebut masih sangat belia, anak-anak di bawah umur. Masa–masa yang semestinya mereka habiskan untuk memaksimalkan tumbuh kembang fisik dan mentalnya, malah mereka gunakan untuk sekadar melantunkan lagu-lagu picisan di sudut-sudut kota demi mendapatkan sekeping dua keping uang logam dari penumpang angkutan umum atau pengendara sepeda motor yang tampak menyemut. Masa-masa dimana seharusnya mereka mendapat asupan gizi dan pengetahuan yang baik, bukan justru mendapati kerasnya kehidupan di jalanan ibu kota. Sumpah serapah, caci maki dan perkatan buruk lainnya terlontar dari mulut orangtua mereka yang mendapati para pengemis belia tak kunjung mendapatkan penglaris.
Bukan Sekadar Alasan Ekonomi
Semakin tingginya biaya hidup dan kemiskinan di Jakarta memang lebih sering dijadikan alasan umum oleh sebagian orang untuk hidup mengemis. Padahal, faktor yang membuat seseorang harus mengais rezeki dari uluran tangan orang lain begitu heterogen. Sayang, banyak orang yang tak sadar akan faktor-faktor tersebut. Baik masyarakat yang memproduksi para pengemis, pemerintah sebagai pihak yang semestinya mengentaskan para pengemis atau bahkan para pengemis sendiri, karena baginya hidup itu adalah untuk makan.
Keberadaan para pengemis dari kalangan anak-anak dan anak jalanan secara keseluruhan di negeri ini memang menimbulkan enigmatika sosial yang cukup rumit, mulai dari faktor yang menjadi penyebab munculnya para pengemis tersebut hingga pada model penanganan untuk mengatasi, mengurangi atau bahkan menghilangkannya.
Bila dibandingkan dengan fenomena keberadaan para pengemis dan anak jalanan di negara-negara lain, kasus Indonesia memang cukup unik sekaligus juga mengkhawatirkan. Karena ia tak semata menyasar paradigma determinisme ekonomi seperti yang didengungkan para penganut aliran marxis. Dimana ekonomi merupakan faktor yang paling mendasar yang membuat seseorang menjadi marginal, miskin lalu kemudian hidup mengemis.
Ekonomi memang sedikit banyak telah berperan bagi lahirnya para pengemis dan anak jalanan lainnya, terutama dengan adanya krisis ekonomi pada akhir 97-an. Namun nyatanya ekonomi tak menjadi faktor tunggal yang determinan, ia diikuti oleh faktor budaya, struktur sosial (termasuk pemerintah) mental dan dinamika kehidupan keluarga. Disinilah signifikansi dari adagium ‘bangsa yang bermental pengemis’, karena begitu banyak orang yang lebih suka bergantung pada orang lain. Klaim ini tentu saja tak hanya menjadi milik para penganut determinisme ekonomi, tapi juga para penganut strukturalisme, karena ia amat terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat.
Untuk itu menjadi tak mengherankan bila begitu banyak penduduk Jakarta yang berprofesi sebagai pengemis. Di siang hari mereka terlihat compang-camping, kurus kering dan kumuh. Tiada daya selain menengadahkan tangan dan berharap ada orang yang tersentuh lalu tergerak untuk memberikan barang seratus dua ratus perak saja. Saat matahari mulai beringsut dan hari pun berganti malam mereka kembali ke rumah masing-masing untuk menghitung dan menikmati hasil ngemisnya. Bagi mereka, tak masalah bila di siang hari miskin papa, asalkan di malam hari pulang membawa uang.
Dalam konteks inilah Gubernur Fauzi Bowo semestinya lebih tanggap. Karena walau bagaimanapun anak merupakan potensi dan asset strategis penerus cita-cita bangsa, memiliki posisi dan peranan yang strategis dalam kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Kesalahan prosedur dan metode penanganan terhadap maraknya pengemis dari kalangan anak-anak ini saja sejatinya dianggap sebagai sebuah pelanggaran atas hak asasi manusia, apalagi dengan melakukan pembiaran.
Hak Asasi Anak
Di dalam Negara hukum yang demokratis layaknya Indonesia, hak-hak anak sejatinya dilindungi oleh undang-undang. Untuk itulah perlindungan terhadap individu merupakan tugas Negara, dan perlindungan individu ini tentu saja tak terkecuali anak-anak. Karena inilah yang disebut sebagai equality before the law.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 45 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak Yaitu Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration of the right of the child) yang telah diratifikasi melalui keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak. Yang memuat empat hal: Hak hidup; Hak kelangsungan hidup/tumbuh kembang baik fisik maupun mental; Kepentingan terbaik anak (adopsi atau perceraian); Hak partisipasi/mengemukakan pendapat.
Sehingga jelaslah bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Fauzi Bowo tidak hanya berkewajiban untuk menertibkan para pengemis dan anak jalanan ibukota, tapi juga memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya.
Fauzi Bowo juga berkewajiban untuk mengajak dan mengatur warganya agar mampu menempatkan toleransi dengan tepat dalam konteks keberadaan pengemis dan anak jalanan. Dengan tidak memberikan kesempatan kepada para pengemis untuk menjadikan jalanan ibukota sebagai kehidupan alternatif untuk bertahan hidup.
Fauzi Bowo juga semestinya segera memberikan solusi dan aksi terhadap lemahnya implementasi hukum yang diterbitkan untuk mengentaskan para pengemis dan anak jalanan. Baik dari sisi pemahaman warga masyarakat maupun sisi penegakkan hukum (law imporcement). Melakukan pembiaran atas maraknya pengemis anak-anak di Jakarta, sesungguhnya Fauzi Bowo telah melakukan pelanggaran atas UUD 1945. Jelas di pasal 34 tercantum bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Pengentasan pengemis dan anak jalanan memang memerlukan program yang lintas sektoral dan berkesinambungan seperti dijelaskan di awal tulisan ini. Dimana ekonomi, budaya dan kualitas hidup institusi sosial terendah (keluarga) semestinya menjadi fokus pembangunan warga Jakarta.
Dalam hal ini, pemerintah DKI semestinya memberikan jaminan agar warganya mendapatkan kemudahan dalam mengakses layanan-layanan publik dan hak-haknya sebagai warga Jakarta. Seperti akses ekonomi, kesehatan, pendidikan, agama, angkutan umum, taman kota dan tentu saja fasilitas publik lain yang tak kalah pentingnya bagi peningkatan kualitas hidup warga Jakarta.
Kenapa demikian? Karena tanpa disadari ketidakmampuan pemerintah DKI Jakarta dalam menjamin warganya untuk mendapatkan kemudahan dalam mengakses fasilitas publik tersebut ternyata telah memberikan ruang bagi warganya untuk menyemai benih ketidakberdayaan hidup, dan mengemis dijadikan pilihan hidup.
Akhirnya penyelesaian kasus maraknya anak-anak yang mengemis di jalanan Ibukota memang memerlukan perhatian semua pihak. Baik keluarga selaku institusi sosial terendah yang semestinya mampu memberikan pendidikan awal bagi seluruh anggota keluarganya tentang prinsip-prinsip hidup, menjamin Hak hidup, Hak kelangsungan hidup/tumbuh kembang baik fisik maupun mental, kepentingan terbaik anak (adopsi atau perceraian), Hak partisipasi/mengemukakan pendapat. Sehingga para penerus bangsa tak terjebak pada pilihan hidup yang rumit. Utamanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang semestinya memberikan jalan kemudahan bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup keluarganya.***