“Gorong-Gorong” SEA Games

Kaget, gemas, dan tak habis pikir. Pikiran dan perasaan saya bercampur aduk ketika melihat pengerjaan galian gorong-gorong atau saluran air di jalan Sudirman (juga lokasi lainnya seperti belakang Gedung DPR) masih berserakan-berantakan di saat Jakarta kedatangan tamu dari banyak negara terkait pelaksanaan Sea Games XVII.  Sebegini burukkah manajemen pengelolaan semua hal di DKI Jakarta ini, bahkan hal yang nampak sepele namun amat vital : gorong-gorong, sampai tak terkendali dengan baik? (kesemrawutan gorong-gorong ini diliput massif oleh banyak media)


Perhelatan SEA Games XXVI memang baru akan dibuka secara resmi pada tanggal 11 –dan akan berlangsung sampai 22 November 2011. Tetapi rombongan kontingen dari negara peserta sudah mulai berdatangan sejak tanggal 2 November, terutama official dan tim sepak bola yang pertandingan pembukanya sudah dimulai pada tanggal 3 November mempertemukan negara Filipina vs Vietnam. Jakarta sendiri dijadwalkan akan menggelar 266 even dari 23 cabang olahraga. Sedangkan 296 even dari 21 cabang lainnya akan digelar di Palembang, Sumatera Selatan. Diperkirakan ada 6000 ribu atlet yang berpartisipasi di luar offisial dan pendukung tiap negara.

Pemprov DKI Jakarta, haqqul yakin, sudah pasti sangat mengetahui hal ini sejak jauh hari. Sebagai tuan rumah dari perhelatan besar, seyogyanya ini dijadikan momentum positif oleh DKI Jakarta untuk menghadirkan citra positif kepada para ribuan tamu dari berbagai negara tersebut. Saya membayangkan, Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo akan serius membenahi persoalan sosial dan infrastruktur menjelang kedatangan para tamu. Problem sosial akut sehari-hari yang sering dikeluhkan oleh banyak pihak diselesaikan secara elegan, mulai dari persoalan joki 3 in 1, pedagang kaki lima yang buka lapak semaunya, peminta-minta, wajah semrawut transportasi massa. Namun, saya kecewa.

Kusut gorong-gorong yang berantakan-berserakan di jalan protokol utama itu, sebuah persoalan yang menurut saya sangat sederhana dan terukur, telah membuyarkan segalanya: kok yang muncul wajah kota yang semrawut, tak terurus. Kalau hal yang sepele saja tidak bisa diurus dengan baik, bagaimana dengan hal lebih serius?

Kegagalan Pemerintah


Sudah berulangkali Jakarta menjadi tuan rumah perhelatan atau pertemuan internasional yang melibatkan banyak negara. Akan tetapi, momentum itu selalu tercederai oleh hal-hal yang merusak citra wajah Jakarta. Seperti beberapa waktu lalu saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), DKI Jakarta membiarkan problem-problem sosial terlihat kasat mata oleh setiap mereka yang lewat, seperti joki 3 in 1, pengemis, kesemrawutan angkutan umum dan sebagainya.

Harus diakui, kepemimpinan Fauzi Bowo miskin prestasi. Meski berpengalaman di dunia birokrasi, gaya kepemimpinannya yang kurang tegas, plin-plan, dan takut ambil resiko telah mengantarkan dia pada kondisi serba bingung. Akhirnya, fakta menunjukkan bahwa selama kepemimpinannya tidak ada kemajuan sedikit pun dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Janji-janji yang disampaikan pada saat kampanye juga hampir tidak ada yang terealisasi.

Selama tiga tahun terakhir, tercatat 66 triliun uang rakyat melalui APBD yang telah diberikan kepada Pemprov DKI. Namun uang sebanyak itu tidak membuahkan hasil signifikan bagi pembangunan Jakarta. Tidak ada langkah tegas dan serius dalam mengatasi berbagai persoalan. Pembangunan seperti berjalan ala kadarnya (by given) tanpa terobosan kebijakan strategis dan terarah (by design).

Akhirnya, problem sosial kemasyarakatan, infrastuktur, tata kelola dan sebagainya semakin hari semakin parah seolah pemerintah tidak punya peranan. Alih-alih mengurai persoalan itu secara integral, masalah baru justru muncul akibat kebijakan yang tak terencana dan tak terkordinasi.

Persoalan di Kota Jakarta memang bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI saja melainkan juga pemerintah pusat. Jakarta selama ini menjadi pusat pemerintahan RI sekaligus sebagai sentra perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah pusat juga memiliki tanggung jawab untuk menata dan mengembangkan pembangunan.

Sayangnya, koordinasi yang terjalin sejauh ini kurang efektif dan tidak terarah. Hal ini bisa dilihat dari kritikan Presiden RI terhadap Gubernur DKI Jakarta yang dinilai lamban menyelesaikan berbagai permasalahan di Ibukota. Gubernur DKI Jakarta beserta aparat pemerintah terkait dianggap kurang memiliki komitmen pembangunan yang kuat.

Namun pada sisi lain, pemerintah DKI mengakui bahwa kelambanan tersebut justru disebabkan oleh regulasi dan pengambilan keputusan di pusat. Regulasi dan kebijakan yang dihembuskan pemerintahan SBY terkait pembangunan DKI Jakarta dinilai sebatas wacana belaka seperti kon­sep Greater Jakarta, ide pem­bangunan me­gapolitan, dan sebagainya.

Fenomena itu cukup menggambarkan betapa buruknya koordinasi yang dibangun antara pemerintah pusat dengan daerah. Persoalan yang semestinya didekati secara padu dan menyeluruh mulai hilir hingga hulu jadi kacau dan sepotong-sepotong. Ini juga menggambarkan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak serius mengatasi masalah pembangunan.

Akhirnya, problem akut ibukota yang meresahkan banyak pihak dipastikan tidak akan bisa teratasi jika Jakarta masih dipimpin oleh gubernur seperti hari ini, yang penuh kebingungan, tak mengerti prioritas pembangunan, serta tak memiliki ketegasan dan keberanian menanggung resiko dari setiap kebijakan yang semestinya diambil sehingga akhirnya tak menghasilkan kebijakan apapun. Wallahualam bisshawab.

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)