0 komentar

Bajaj oh Bajaj


Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan, saat ini sedikitnya ada 14.600 unit bajaj yang lalu lalang di jalanan. Belum termasuk 6000 bajaj ilegal hasil modifikasi bengkel-bengkel di Jakarta.

Pada tahun 2001, Pemda DKI Jakarta sebetulnya telah menghadirkan angkutan niaga kecil beroda empat ‘kancil’. Dimana pada tahap awal, 250 unit kancil diluncurkan. Dengan proyeksi produksi kancil 150 unit perbulan, Pemda DKI Jakarta waktu itu optimis pada akhir tahun 2002, keberadaan bajaj sudah tergantikan oleh kancil. Hanya saja keberadaan kancil tidak sesuai harapan. Kancil tak bisa menggusur bajaj. Bajaj difavoritkan karena dianggap lebih lincah.

Selain memiliki tingkat polusi 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan lainnya, bajaj juga sering kali beroperasi secara tidak beraturan. Supir bajaj seringkali lebih mengutamakan dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan keselamatan para pengendara lainnya. Ini terjadi, karena hampir  90 persen supirnya tak memiliki surat izin mengemudi (SIM).

Meski begitu, kesalahan tak semestinya hanya dialamatkan kepada para supir dan pemilik bajaj, karena nyatanya Pemerintah Kota Jakarta memang tidak begitu tegas dalam mengatur kepemilikan dan ijin operasi angkutan khas Kota Jakarta ini.

Ini terbukti dari program peremajaan bajaj yang sudah berjalan hampir tujuh tahun lamanya. Dimana dari total 14.424 unit bajaj, hanya 2.755 unit saja yang sampai kini telah diremajakan. Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI tahun 2006, target peremajaan bajaj biru mencapai 5000 unit pada tahun 2008.

Bahkan, setelah puluhan pengemudi dan pemilik bajaj, yang tergabung dalam Gabungan Elemen Masyarakat Angkutan Lingkungan Bajaj, Angkutan Toyoko, dan Angkutan Lingkungan Bemo, berdemonstrasi di depan Balai Kota Jakarta pada tanggal 7 Februari 2013, terungkap bahwa program peremajaan tersendat dan uang muka yang disetorkan, sekitar Rp 70 milyar, tak jelas nasibnya.

Kisruh peremajaan bajaj sebetulnya merupakan potret dari carut marutnya pengelolaan transportasi Kota Jakarta, wabil khusus dalam konteks pertimbangan keamanan publik (human security). Atas nama pertumbuhan ekonomi, laju permintaaan kepemilikan kendaraan pribadi menjadi tak terbendung, sementara fasilitas angkutan publik tak kunjung diperbaiki.

Pak Jokowi dan Pak Ahok, tolong urusan Bajaj ini dicarikan solusinya.

Dirgahayu Kota Jakarta !

0 komentar

Jokowi (Menjual) Harapan Masyarakat Kecil


Hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Jakarta (LSJ) pada 19 Februari 2013 menyebut Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), sebagai calon presiden potensial 2014. Jokowi memperoleh 18,1% suara mengungguli tokoh lain semisal Prabowo Subianto 10,9%, Wiranto 9,8%, Jusuf Kalla 8,9%, Abu Rizal Bakrie 8,7%, dan Megawati Soekarno Putri 7,2%. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam survei Pusat Data Bersatu (PDB) yang menempatkan Jokowi di posisi teratas dengan elektabilitas 21,2%.

Bagi sebagian kalangan, hasil survei itu tidak terlalu mengejutkan. Pasalnya, Jokowi baru empat bulan terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta. Masyarakat masih memberi kesempatan sembari menunggu penunaian janji-janji. Lebih dari itu, gaya kepemimpinan Jokowi yang mengandalkan “blusukan” dinilai mampu menjaga optimisme publik. Bahkan pada tataran tertentu, gaya tersebut melahirkan kesan politik tersendiri sebagai pemimpin yang merakyat.

Menjaga optimisme jadi faktor penting di tengah semakin pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin. Sejumlah calon presiden daur ulang tidak begitu laku meski tingkat popularitasnya cukup tinggi. Masyarakat condong mencari figur baru yang lebih menjanjikan ketimbang figur lama. Sekuat apapun pencitraan diri, integritas personal lebih menentukan elektabilitas seorang calon.

Namun, apakah hasil survei itu sejalan dengan prestasi Jokowi memimpin Jakarta? Benarkah Jokowi betul-betul mampu menjaga harapan publik? Jawaban atas pertanyaan ini sangat terkait dengan waktu dilaksanakannya survei. Setiap survei punya jangka tertentu yang bersifat tentatif. Dan, karena survei dilakukan di saat warga DKI baru saja melewati masa bulan madu kepemimpinan, maka sosok Jokowi relatif diuntungkan.

Jika mau jujur, kepemimpinan Jokowi masih seumur jagung. Menilai kiprahnya dalam rentang itu terlalu prematur. Begitu banyak persoalan yang harus diurai sebelum masuk ke tahap kesimpulan. Pelbagai tantangan yang mendera Ibu Kota perlu dijawab dengan program nyata dan berkesinambungan. Masalah banjir, kemacetan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, kampung kumuh, dan anak jalanan (kesejahteraan sosial) merupakan sederet masalah yang mesti segera diselesaikan.

Langkah Jokowi
Seiring perjalanan waktu, integritas Jokowi akan terus diuji. Masyarakat senantiasa menunggu terobosan apa yang akan dilakukan. Meski langkah-langkah awal sudah mulai terbaca, nampaknya hal itu masih jauh dari kata ‘memuaskan’. Semua yang dihadirkan hanya sebatas menahan harapan yang hampir karam. Kebijakan Jamkesda dengan Kartu Jakarta Sehat (KJS) misalnya, belum memberi manfaat nyata bagi peningkatan kesehatan masyarakat.

Pemasaran kebijakan itu memang berhasil menjaga harapan masyarakat terutama rakyat miskin (wong cilik). Tetapi karena tidak diikuti oleh kerangka programatik yang mengedepankan penataan struktural pada tataran sistem, maka penerapannya tak berjalan mulus. Rumah sakit dan Puskemas kewalahan, sarana dan prasarana medis kurang memadai, KJS digunakan tak sewajarnya, dan lain-lain. Dalam artian, ada lubang yang menganga antara harapan dan kenyataan.

Terkesan, cara berpikir Jokowi mendekati masalah cenderung “apa adanya” tanpa memperhitungkan banyak sisi. Prinsipnya, yang penting ada dan bisa ditangani secara taktis. Sehingga, wajar bila beberapa hari lalu masyarakat digemparkan dengan kasus Dera Nur Anggraini yang ditolak oleh delapan Rumah Sakit, gagal mendapat penanganan medis dan akhirnya meninggal dunia. Kasus Dera kemudian diikuti Upik yang divonis meninggal dunia dalam keadaan masih bernafas.

Begitu pula dengan kebijakan Kartu Jakarta Pintar (KJP), program kampung deret, pembangunan MRT dan monorail, pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT), kebijakan transportasi massal dan kebijakan lain menyangkut kepentingan umum. Walaupun masih tahap permulaan, langkah Jokowi seperti tak terencana. Kegesitan dan kesigapannya di lapangan belum membuahkan satu konsep perencanaan integral dan berjangka panjang.

Sejatinya, sebagaimana teori kebijakan publik, komplesksitas persoalan di lapangan didekati secara ilmiah untuk merumuskan suatu kerangka kebijakan yang jelas dan terarah. Segenap fakta atau informasi yang didapat dianilisis secara rasional dengan mempertimbangkan dampaknya serta melihat kesiapan intitusi. Dari sini kemudian dapat diambil langkah strategis sebagai implementasi kebijakan. Meski tidak bersifat final, setidaknya masyarakat mengetahui formula dan arah kebijakan sehingga dapat berpartisipasi.

Isu Pinggiran
Sejauh ini, program kebijakan Jokowi lebih banyak menyentuh isu sentral dan seksi sebagaimana disebutkan di atas. Sementara, isu pinggiran (periferial) seperti nasib anak jalanan penataan disiplin pengemudi angkutan umum, dan isu tak seksi lainnya kurang mendapat perhatian.

Terkait anak jalanan, makin hari keberadaannya makin bertambah. Mereka hidup dan beraksi di sepanjang jalan trotoar, lampu merah, angkutan umum, dan di dekat pusat pembelanjaan. Sampai hari ini, malam hari selepas maghrib hingga menjelang larut (sekitar jam 19.00 – 22.00 Wib) di bunderan Hotel Indonesia, bunderan kebanggaan warga ibukota, terlihat anak-anak jalanan/pengamen berkeliaran menunggui Lampu Merah. Kondisi ini jelas memprihatinkan sekaligus membuat resah.

Ada kecenderungan beberapa aksi anak jalanan/pengamen mulai mengarah pada perilaku anarkhis: meminta dengan cara memaksa, mengganggu ketenangan pengendara/penumpang atau pengunjung, bahkan mengancam dengan senjata. Sudah rahasia umum bahwa keberadaan mereka terkungkung oleh kejahatan yang terorganisir (organized crime). Kesehariannya sangat akrab dengan kekerasan fisik maupun batin tanpa ada perlindungan kemanusiaan.

Kehidupan anak jalanan adalah potret nyata kerasnya kehidupan Ibu Kota. Di samping tertikam oleh keadaan, mereka juga tak punya jaminan kesehatan dan pendidikan. Harapan agar tumbuh sehat dan berkembang cerdas ibarat khayalan belaka. Sejak dini mereka sudah harus berkelahi dengan waktu. Tiap detik hidup mereka dipertaruhkan. Harapan di masa depan, kemerdekaan hidup, akal dan batinnya telah direbut paksa oleh ketidakpastian keadaan.

Bulan lalu, Jokowi memang meresmikan empat panti sosial guna menampung anak jalanan termasuk tuna grahita. Empat panti sosial itu antara lain: Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa, Panti Sosial Asuhan Anak Putera Utama 2, Panti Sosial Asuhan Anak Utama 6, dan Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa. Namun sayangnya, upaya Jokowi hanya sebatas itu. Belum terlihat konsep matang dan serius dalam rangka menanggulangi anak jalanan.

Apa yang dilakukan Jokowi dengan meresmikan empat panti tersebut tidak jauh beda dengan program KJS. Prinsipnya asal ada. Beberapa panti bahkan sudah dibangun pada masa gubernur sebelumnya. Kegiatan dan pendekatannya pun menyerupai rumah singgah yang dikelola LSM. Hampir tak ada pendekatan baru kecuali mengulang cara lama yang dianggap telah usang.

Padahal seharusnya, paradigma yang dikedepankan ialah bagaimana mengembalikan harapan dan kemerdekaan serta mengembangkan kemampuan akal dan pertumbuhan batin mereka. Tuannya adalah untuk menjadikan manusia yang seutuhnya. Dengan paradigma ini dapat dilakukan diagnosis terhadap masing-masing individu sebagai bahan penyusunan perencanaan lanjutan. Tentu saja semua pihak perlu dilibatkan agar penanganan sesuai harapan.

Sementara mengenai penataan disiplin pengemudi angkutan umum, saya punya pengalaman berharga sebagai pelajaran meski secara fakta sangat memilukan. Ketika melintas di daerah senayan setelah Senayan City, mobil saya ditabrak angkutan kota Koantas Bima karena remnya blong. Kaget bukan kepalang. Tak ada korban, alhmadulillah. Sang sopir diperiksa polisi, ditanyai kelengkapan surat menyurat. Apa lacur, supirnya tidak punya SIM, bisnya tidak ada STNK, bahkan izin KIR-nya sudah kadaluarsa (artinya kendaraan tersebut tidak laik jalan alias membahayakan).

Sungguh fakta yang sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin kendaraan angkutan ibukota, melintas  di jalan megah Asia Afrika, sangat membahayakan warga Jakarta baik sebagai penumpang maupun sesama pengguna jalan. Rem blong, sopir tidak punya SIM, bis tidak ada STNK, dan KIR-nya sudah lewat. Sungguh memilukan sekali (menjurus biadab) potret seperti ini.

Angkutan umum transportasi yang sangat vital di Jakarta, terutama bagi masyarakat kecil, wong cilik. Setiap hari mereka berjubel di bus kota menuju tempat kerja, beraktivitas. Keselamatan mereka sangat bergantung pada kelaikan kendaraan dan si sopir. Mungkin isu ini tidak seksi media, tapi mesti menjadi perhatian serius semua pihak, diprioritaskan, karena berkaitan dengan human security.  Dan Jokowi ternyata belum melirik hal krusial ini.

Pertanyaannya, kenapa Jokowi terkesan abai terhadap isu-isu periferal padahal terkait langsung dengan masyarakat kecil? Apakah karena isu itu tidak begitu seksi dan menguntungkan? Apa karena mereka bukan konstituen yang meradang ke Balaikota DKI Jakarta? Dalam perspektif kemanusiaan, semestinya penanganan terhadap hal-hal yang bersentuhan langsung dengan hak hidup dan perlindungan ini diprioritaskan. Sebab, hal ini menyangkut nasib hidup yang senantiasa dipertaruhkan. Tak ada alasan sedikit pun untuk mengesampingkan.

Semoga saja Jokowi tak sekedar menjual harapan wong cilik, waktu akan mengujinya.***

0 komentar

Berharap Pada Monorail (?)


Akhir tahun 2012, Jakarta kembali riuh gemuruh oleh proyek kereta rel tunggal (monorail). Wacana tersebut bergulir setelah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menegaskan akan melanjutkan proyek yang telah lama mangkrak itu. Dalam rencananya, kereta tersebut akan melintasi rute Jalur Hijau; Kuningan, Dukuh Atas, Pejompongan, Senayan, Gatot Subroto, SCBD dan Jalur Biru; Kampung Melayu, Tebet, Casablanca, Tanah Abang, Mall Taman Anggrek.

Setidaknya ada beberapa alasan mendasar mengapa monorail berhasil membangunkan harapan masyarakat untuk terbebas dari macet berkepanjangan. Pertama, rel tunggal tak akan dilalui oleh kendaraan lain. Sehingga kereta tersebut melaju tanpa berebut tempat dengan angkutan lainnya. Akhirnya kereta monorail akan mengantar penumpang jauh lebih cepat dari Bis Transjakarta atau angkutan umum lainnya. Selain itu, jalur strategis jaringan monorail yang mengitari seantero kota Jakarta, mampu mendekatkan khalayak dengan tempat tujuan penumpang.  Akhirnya, efisensi pergerakan orang dan barang tejadi dengan tepat waktu, aman dan nyaman.

Jika melihat Malaysia, negara tersebut sukses menjadikan monorail sebagai moda transportasi yang mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.  Sementara Jakarta yang sudah sejak lama menghadapi persoalan kemacetan, baru menggagas monorail tersebut.

Di tengah kondisi real jalanan kota yang terus didera kemacetan, mewujudkan kereta monorail adalah sebuah terobosan yang perlu segera dilakukan. Hal ini untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik, menekan pertumbuhan kendaraan pribadi.

Sekalipun demikian, monorail hanyalah moda transportasi alternatif yang dianggap paling mujarab dalam membersihkan Jakarta dari kemacetan. Perlu adanya pemikiran mendalam untuk mewujudkannya. Hal itu penting dilakukan untuk menghindari kegagalan serupa bis Transjakarta.

Matinya Transportasi Publik
Di Jakarta, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk terjebak macet. Situasi macet terjadi saat sistem tranportasi yang ada sudah tidak mampu lagi untuk mengalirkan lalu lintas. Saat jalan raya sudah tidak lagi menyediakan cukup ruang bagi pergerakan orang dan distribusi barang lalu membuat posisi saling mengunci antar kendaraan.

Berdasarkan dokumen Pola Transportasi Makro Jakarta dan Studi Integrated Transport Master Plan (SITRAMP) Jabodetabek menyebutkan bahwa kemacetan di jalanan Jakarta terjadi akibat motorisasi besar-besaran yang terjadi dan ketidaknyamanan sarana tranportasi. Motorisasi adalah sebuah pola ketergantungan mobilitas masyarakat kota terhadap kendaraan pribadi atau sepeda motor.

Dalam rentang perkembangannya, kendaraan pribadi dan sepeda motor tumpah ruah melebihi jumlah tranportasi publik yang ada. Berdasarkan data Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya, tahun 2010 jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 11.362.396. Dari angka tersebut, kendaraan roda dua lebih mendominasi dengan jumlah 8.244.346 unit. Tahun 2012, sebanyak 13.062.396 kendaraan semakin menumpuk di jalanan Jakarta.

Sebenarnya dua persoalan penyebab macet (motorisasi dan ketidaknyamanan sarana transportasi) saling berkait. Selalu hadir bersamaan saat macet melanda lalulintas Jakarta. Motorisasi terjadi salah satu diantaranya karena banyak orang sudah tidak lagi percaya pada transportasi publik. Karena itu pola tingkah masyarakat dalam melakukan perjalanan di Jakarta lebih memilih kendaraan pribadi atau sepeda motor daripada menggunakan transportasi publik. Kecenderungan macam ini lebih merupakan pilihan rasional masyarakat terhadap kondisi kendaraan yang ada di Jakarta. Dengan meminjam data survei JICA SITRAMP, menyebut aspek keamanan dan kenyamanan menjadi alasan memilih kendaraan pribadi atau sepeda motor.

Motorisasi Jakarta
Jalan raya lahir untuk melayani hajat orang banyak. Setiap warga memiliki hak yang sama untuk menyintas dan menyeberang di jalan. Jalan raya pada awalnya adalah ruang interaksi banyak orang. Di jalan setiap individu memililiki kesempatan yang sama dalam menggunakan setiap ruas jalan.

Dalam diskursus transportasi, Jakarta pada tahun 1970-an selalu menjadi rujukan moda transportasi humanis aman dan ramah lingkungan. Bagaimana moda transportasi yang ada mengikuti bentuk dan ruas jalan. Untuk jarak dekat, masyarakat Jakarta hanya membutuhkan becak sebagai alat transportasi dan trem untuk jarak jauh. Moda trasnportasi yang berkembang saat itu tidak kontraproduktif dengan keberadaan ruas jalan dan kebutuhan masyarakat. Artinya, kehadiran alat transportasi itu seharusnya berkait erat dengan lingkungan jalan raya dan melibatkan partisipasi masyarakat kota dalam menentukan moda transporatsi dan regulasi transportasi. Sehingga jalanan raya menyediakan cukup ruang bagi publik untuk hajat orang banyak. Demikian juga transportasi memainkan fungsinya sebagai transportasi publik yang tidak menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Tumbuh berkembangnya kendaraan pribadi dan sepeda motor di Jakarta menandai fase kontestasi moda transportasi. Setiap orang saling berebut memiliki kendaraan pribadi paling mewah dan mahal.

Kontestasi lainnya berupa saling serobot di jalan raya. Di jalan, motor selalu berebut posisi raja jalanan dengan angkutan umum dan kendaraan pribadi. Ketiganya saling salip untuk mengisi ruas jalan yang kosong tanpa peduli pada tertib lalu lintas yang ada. Sementara itu, pejalan kaki harus terus mengalah berada di trotoar jalanan yang sempit dan sangat tak nyaman.

Bahwa kemacetan lalu lintas yang menghantui Jakarta saat ini, merupakan implikasi dari matinya tranportasi publik dan rumitnya tata kelola transportasi. Dengan kata lain pemerintah tidak pernah beres dalam menyediakan tranportasi publik yang nyaman dan aman bagi masyarakat jakarta. Seperti tumpang tindih trayek, buruknya kualitas angkutan umum, semakin tingginya jumlah kendaraan pribadi dan sepeda motor daripada tranportasi publik merupakan persoalan yang setiap hari menambah rumit kemacetan di Jalan.

Monorail
Dalam spektrum tata kota, transportasi dapat dipahami sebagai aktivitas perpindahan orang bukan perpindahan kendaraan. Di Indonesia kesadaran masyarakat kota lebih memaknai transportasi sebagai perpindahan orang dan kendaraan sekaligus. Sehingga kemacetan lalulintas terjadi disebabkan menumpuknya kendaraan yang mengorbankan pengertian mendasar transportasi.

Anthony Downs (1994) menyebut transportasi dengan menekankan aspek aksesibilitas. Yaitu aktivitas untuk sampai ke tujuan yang diinginkan. Teori aksesibilitas dapat digunakan untuk mengakhiri bencana macet di Jakarta dengan menolak pelebaran jalan raya. Pelebaran jalan raya memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap semakin bertambahnya jumlah kendaraan.

Dari aksesibilitas tersebut, Downs melakukan dua pendekatan untuk mengakhiri macet; pertama, menggunakan angkutan umum yang terintegarasi saat melakukan perjalanan di Jakarta. Kedua, mengurangi tingkat perjalanan seseorang dengan memposisikan tempat kerja, permukiman, tempat belanja saling berdekatan.

Rencana melanjutkan proyek rel tunggal (monorail) sebagai terobosan pemerintah dalam menyediakan transportasi publik patut disambut positif. Pemerintah mulai ada komitmen untuk mengurangi macet berkepanjangan. Hal ini diharapkan dapat mengatasi ketidakmampuan Bis TransJakarta dalam mengakhiri macet. Setidaknya, harapan masyarakat menemukan transportasi publik aman dan nyaman akan terwujud.

Disamping menyediakan monorail, pemerintah juga penting menyediakan sistem pengumpan, yaitu menyediakan angkutan kota yang memiliki trayek angkutan yang dapat memudahkan masyarakat mengakses monorail. Karena itu penataan rute atau trase perlu dikaji ulang untuk menghindari potensi ketidaksesuaian trayek antara pengumpan, monorail dan angkutan umum lainnya.

Penataan kembali trayek menjadi hal penting untuk menghasilkan sebuah sistem transportasi yang terintegerasi. Selain itu, membatasi kendaraan adalah sebuah pilihan yang juga perlu dilakukan pemerintah. Untuk keluar dari bencana macet berkepanjangan, jumlah kendaraan di Jakarta sudah terlalu menumpuk. Sebab itu, membatasi kendaraan dapat dilakukan dengan menekan angka pertumbuhan kendaraan atau membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Kepada yang pertama, pemerintah setidaknya perlu bekerjasama dengan perusahan produski kendaraan bermotor dengan meninggikan pajak produksi. Kepada yang kedua, pemerintah perlu meninggikan biaya registrasi kendaraan dan pajak jalan tahunan. Seperti lelang kepemilikan kendaraan Certificate of Entitlement (COE) yang dilakukan Singapura dan Jepang. Sederhananya, agar Jakarta terbebas dari macet, pemerintah perlu mengarahkan pilihan masyarakat terhadap monorail dan memberikan syarat ketat untuk memiliki kendaraan pribadi dan sebaliknya, terus mengembangkan dan menjaga kemanan-kenyamanan transportasi publik.***

0 komentar

Keprihatinan Warga Jakarta: Joki 3 in 1

Tidak ada yang berbeda dari aktifitas saya setiap pagi hari : berangkat ke kantor. Juga tidak ada yang berbeda dari aktifitas saya di sore/malam hari : pulang menuju rumah. Dan setiap hari saya melihat pemandangan yang sama, yang cukup mengganggu akal sehat saya, namun terus terjadi setiap hari. Terlihat jelas bagaimana lemahnya wibawa pemerintah (dalam konteks ini Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta), yang memiliki Perda namun terjadi pelanggaran perda secara massif, setiap hari, didepan mata, dan dibiarkan. Ya. Kali ini yang saya maksud adalah JOKI 3 in 1.

Setiap pagi hari, terjadi hiruk pikuk suara bising dari knalpot kendaraan yang berlomba untuk sampai ke tempat kerja. Setiap pagi, di jalan Pakubuwono VI, di Jalan Asia Afrika, di Jalan Pintu Satu Senayan, yang selalu saya lewati menuju tempat bekerja, terlihat deretan para joki yang berdiri mengular di bahu-bahu jalan, dan saya yakin bahwa pemandangan ini terlihat di sepanjang jalan-jalan protokol kota Jakarta.

Ya, para joki 3 in 1 memang merupakan fenomena yang hingga saat ini menjadi bagian dari kisah kelam dari buruknya tata kelola pembangunan kota Jakarta, khususnya dalam konteks pengelolaan transportasi kota Jakarta.

Padahal, beberapa carik kertas putih yang bertuliskan Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 tanggal 23 Desember tahun 2003 tentang Penetapan Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Dan Kewajiban Mengangkut Paling Sedikit 3 Orang Penumpang Perkendaraan Pada Ruas-Ruas Jalan Tertentu di Provinsi DKI Jakarta yang saat ini tertata rapih di Gedung Pemerintah DKI Jakarta masih nampak baru, warnanya tak begitu kusam, bahkan aromanya pun belum begitu lapuk.

Sayang, Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta 2007-2012, benar-benar membuat saya selaku warga DKI Jakarta frustasi, sepertinya tak mampu menangkap semangat dan substansi dari peraturan yang dikeluarkan oleh pendahulunya tersebut. Tanpa pertimbangan dan perencanaan yang matang Foke dengan percaya diri menyebut dirinya sang ahli (kampanye Pilkada 2007) yang mampu mengatasi permasalahan kota Jakarta, termasuk persoalan 3 in 1 ini.

Nyatanya, hingga hari ini setelah hampir delapan tahun berlalu sejak peraturan tentang 3 in 1 tersebut diterapkan keberadaan joki 3 in 1 tak pernah selesai. Jumlah mereka dari hari ke hari malah makin bertambah. Bahkan di antara sebagian warga Jakarta, ada yang menjadikan pekerjaan joki 3 in 1 sebagai profesi.

Profesi sebagai joki 3 in 1 memang dianggap lebih baik ketimbang menjadi pemulung, pencopet atau bahkan penjaga toko sekalipun. Iseng-iseng saya mengajak mereka bicara, terungkap dalam sehari pendapatan para joki tersebut bisa mencapai Rp 80.000. Artinya, bila tidak apes, dalam waktu sebulan pendapatan mereka di atas UMR para pekerja di Jakarta.

Program pembangunan kota Jakarta yang dinahkodai Gubernur Fauzi Bowo memang tak memberikan pilihan yang lebih baik. Sehingga warga Jakarta sering terjebak dalam pilihan hidup yang sulit. Sudah jatuh tertimpa tangga, setelah terdampar dalam kehidupan yang serba sulit warga Jakarta juga harus dihadapkan dengan represivitas perangkat pemerintahan daerah (satpol PP) karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan menyalahi peraturan.

Meski memiliki pendapatan yang lumayan, paling tidak untuk membayar sewa kontrakan dan biaya hidup sehari-hari, para Joki 3 in 1 tak ubahnya berlayar dengan perahu di laut yang kaya ikan namun banyak karangnya. Dimana kesempatan untuk menangkap ikan sama banyaknya dengan kesempatan menabrak karang.

Untuk mendapatkan hasil yang banyak, tak jarang ia mesti turun dari perahu lalu berdiri di atas karang dan menjaring sang ikan. Dengan sigap ia pun harus segera bekerja. Terlambat beberapa detik saja, maka jangan harap membawa pulang ikan hasil tangkapan, yang ada malah babak belur.

Kalau bukan karena terpaksa, tentu tak ada satu pun warga Jakarta yang mau berprofesi sebagai Joki, selain karena pekerjaan tersebut terlarang, risiko yang dihadapi pun teramat besar. Bila tidak sigap, bisa saja mereka terjaring razia. Digelandang ke lokasi penampungan lalu direhabilitasi selama satu minggu. Sesekali, bila para petugas kalap, sedikit tamparan pun melayang ke wajah mereka. Sementara untuk bisa lolos dari kejaran aparat satpol PP, para Joki harus berlarian ke badan jalan. Bila beruntung mereka selamat, bila apes mereka pun diseruduk kendaraan yang melintas, nyawa pun melayang.

Pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini Fauzi Bowo seakan tak pernah membuka mata. Bahwa munculnya berbagai permasalahan sosial di Jakarta termasuk fenomena joki 3 in 1 merupakan buah dari kekeliruan mereka dalam mengelola Jakarta. Mata hati Fauzi Bowo seakan telah tertutup, sehingga sulit sekali memahami inti dari setiap masalah yang muncul dalam masyarakat Jakarta.

Selama kepemimpinannya Fauzi Bowo terlalu mengedepankan proses-proses administratif, sehingga terasa sangat kaku, dan kurang memihak masyarakat lapisan bawah. Aktivitas ekonomi rakyat kecil lebih sering dianggap sebagai ‘mengganggu ketertiban umum’. Atas nama ketertiban umum pemerintah DKI banyak melakukan kekerasan terhadap masyarakat kecil.

Di sepanjang tahun 2010 misalnya, untuk daerah Jakarta Pusat saja Pemerintah DKI telah merazia hampir 1.490 joki 3 in 1. Dan menurut laporan LBH Jakarta, proses razia yang dilakukan satpol PP tersebut kerap disertai dengan kekerasan. Sementara itu,  laporan lain yang dilansir oleh Institute Ecosoc Rights (2009), pemerintahan Fauzi Bowo telah memecahkan rekor penggusuran dalam sejarah pemerintahan kota Jakarta. Dimana korban setiap bulannya mencapai hampir 3.200 orang.

Apakah seorang ahli tata kota lulusan Jerman harus meniadakan hati? Tidakkah ia ingat dengan apa yang dinasihatkan Lao Tzu bahwa “A leader is not an administrator who loves to run others, but someone who carries water for his people so that they can get on with their jobs. Leadership is an opportunity to serve. It is not a trumpet call to self-importance. If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader.”

Sepertinya, Fauzi Bowo perlu segera insyaf dan mulai membuka matahatinya agar tumbuh kepekaan sosial dalam dirinya dan dapat menjaga hubungan yang lebih baik dengan warganya. Sehingga mampu merasakan apa yang dirasakan oleh warga Jakarta. Dengan begitu, Foke akan mampu memberikan pelayanan yang dibutuhkan orang lain, service orientation. Bukan mengambil apalagi memanipulasi hak-hak orang lain.

Akhirnya, semua warga Jakarta hanya bisa berharap, agar dalam diri Fauzi Bowo muncul setitik hati sehingga ia tidak hanya melakukan Politik Pencitraan, namun juga Mampu Berbuat, kebijakan apa pun yang ditetapkan termasuk terkait masalah joki 3 in 1 dapat dijalankan dengan bijak dan manusiawi.**

0 komentar

Keprihatinan Warga Jakarta: Pengemis Anak

Sebuah pemandangan umum sehari-hari, menurut saya tidak normal, tidak manusiawi, namun terlihat sepanjang hari : Pengemis anak-anak. Sebuah ironi, di tengah hiruk pikuk kehidupan warga kota Jakarta yang seakan tak pernah lelah beradu nyali untuk menyasar paradigma peningkatan kualitas hidup, terlihat anak-anak kecil tampak asyik menunggu di sudut-sudut kota, berusaha bertahan hidup, berusaha ikut menikmati kualitas hidup yang dihasilkan dengan mengemis. Hati siapa pun tentu saja sebetulnya akan miris lalu muncul keinginan untuk mengulurkan tangannya, paling tidak agar mereka juga ikut merasakan manisnya hidup. Hanya saja, cara tersebut tentu saja kurang tepat, karena justru akan menimbulkan permasalahan baru.

Yang lebih menyedihkan lagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seakan malah melakukan pembiaran. Hujaman kritik paradigmatik terus mengalir, hanya saja Gubernur Fauzi Bowo seakan tak bergeming. Kalau pun ada tindakan, tak ubahnya seperti mengatasi kebakaran yang menimpa rumah-rumah warga Jakarta. Yang terpenting baginya adalah si jago merah yang melalap rumah-rumah warga dapat dipadamkam, persoalan besok atau lusa terjadi kebakaran lagi itu hal lain.

Padahal, kebanyakan pengemis tersebut masih sangat belia, anak-anak di bawah umur. Masa–masa yang semestinya mereka habiskan untuk memaksimalkan tumbuh kembang fisik dan mentalnya, malah mereka gunakan untuk sekadar melantunkan lagu-lagu picisan di sudut-sudut kota demi mendapatkan sekeping dua keping uang logam dari penumpang angkutan umum atau pengendara sepeda motor yang tampak menyemut. Masa-masa dimana seharusnya mereka mendapat asupan gizi dan pengetahuan yang baik, bukan justru mendapati kerasnya kehidupan di jalanan ibu kota. Sumpah serapah, caci maki dan perkatan buruk lainnya terlontar dari mulut orangtua mereka yang mendapati para pengemis belia tak kunjung mendapatkan penglaris.

Bukan Sekadar Alasan Ekonomi

Semakin tingginya biaya hidup dan kemiskinan di Jakarta memang lebih sering dijadikan alasan umum oleh sebagian orang untuk hidup mengemis. Padahal, faktor yang membuat seseorang harus mengais rezeki dari uluran tangan orang lain begitu heterogen. Sayang, banyak orang yang tak sadar akan faktor-faktor tersebut. Baik masyarakat yang memproduksi para pengemis, pemerintah sebagai pihak yang semestinya mengentaskan para pengemis atau bahkan para pengemis sendiri, karena baginya hidup itu adalah untuk makan.

Keberadaan para pengemis dari kalangan anak-anak dan anak jalanan secara keseluruhan di negeri ini memang menimbulkan enigmatika sosial yang cukup rumit, mulai dari faktor yang menjadi penyebab munculnya para pengemis tersebut hingga pada model penanganan untuk mengatasi, mengurangi atau bahkan menghilangkannya.

Bila dibandingkan dengan fenomena keberadaan para pengemis dan anak jalanan di negara-negara lain, kasus Indonesia memang cukup unik sekaligus juga mengkhawatirkan. Karena ia tak semata menyasar paradigma determinisme ekonomi seperti yang didengungkan para penganut aliran marxis. Dimana ekonomi merupakan faktor yang paling mendasar yang membuat seseorang menjadi marginal, miskin lalu kemudian hidup mengemis.

Ekonomi memang sedikit banyak telah berperan bagi lahirnya para pengemis dan anak jalanan lainnya, terutama dengan adanya krisis ekonomi pada akhir 97-an. Namun nyatanya ekonomi tak menjadi faktor tunggal yang determinan, ia diikuti oleh faktor budaya, struktur sosial (termasuk pemerintah) mental dan dinamika kehidupan keluarga. Disinilah signifikansi dari adagium ‘bangsa yang bermental pengemis’, karena begitu banyak orang yang lebih suka bergantung pada orang lain. Klaim ini tentu saja tak hanya menjadi milik para penganut determinisme ekonomi, tapi juga para penganut strukturalisme, karena ia amat terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat.

Untuk itu menjadi tak mengherankan bila begitu banyak penduduk Jakarta yang berprofesi sebagai pengemis. Di siang hari mereka terlihat compang-camping, kurus kering dan kumuh. Tiada daya selain menengadahkan tangan dan berharap ada orang yang tersentuh lalu tergerak untuk memberikan barang seratus dua ratus perak saja. Saat matahari mulai beringsut dan hari pun berganti malam mereka kembali ke rumah masing-masing untuk menghitung dan menikmati hasil ngemisnya. Bagi mereka, tak masalah bila di siang hari miskin papa, asalkan di malam hari pulang membawa uang.

Dalam konteks inilah Gubernur Fauzi Bowo semestinya lebih tanggap. Karena walau bagaimanapun anak merupakan potensi dan asset strategis penerus cita-cita bangsa, memiliki posisi dan peranan yang strategis dalam kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Kesalahan prosedur dan metode penanganan terhadap maraknya pengemis dari kalangan anak-anak ini saja sejatinya dianggap sebagai sebuah pelanggaran atas hak asasi manusia, apalagi dengan melakukan pembiaran.

Hak Asasi Anak

Di dalam Negara hukum yang demokratis layaknya Indonesia, hak-hak anak sejatinya dilindungi oleh undang-undang. Untuk itulah perlindungan terhadap individu merupakan tugas Negara, dan perlindungan individu ini tentu saja tak terkecuali anak-anak. Karena inilah yang disebut sebagai equality before the law.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 45 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak Yaitu Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration of the right of the child) yang telah diratifikasi melalui keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak. Yang memuat empat hal: Hak hidup; Hak kelangsungan hidup/tumbuh kembang baik fisik maupun mental; Kepentingan terbaik anak (adopsi atau perceraian); Hak partisipasi/mengemukakan pendapat.

Sehingga jelaslah bahwa pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Fauzi Bowo tidak hanya berkewajiban untuk menertibkan para pengemis dan anak jalanan ibukota, tapi juga memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya.

Fauzi Bowo juga berkewajiban untuk mengajak dan mengatur warganya agar mampu menempatkan toleransi dengan tepat dalam konteks keberadaan pengemis dan anak jalanan. Dengan tidak memberikan kesempatan kepada para pengemis untuk menjadikan jalanan ibukota sebagai kehidupan alternatif untuk bertahan hidup.

Fauzi Bowo juga semestinya segera memberikan solusi dan aksi terhadap lemahnya implementasi hukum yang diterbitkan untuk mengentaskan para pengemis dan anak jalanan. Baik dari sisi pemahaman warga masyarakat maupun sisi penegakkan hukum (law imporcement). Melakukan pembiaran atas maraknya pengemis anak-anak di Jakarta, sesungguhnya Fauzi Bowo telah melakukan pelanggaran atas UUD 1945. Jelas di pasal 34 tercantum bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Pengentasan pengemis dan anak jalanan memang memerlukan program yang lintas sektoral dan berkesinambungan seperti dijelaskan di awal tulisan ini. Dimana ekonomi, budaya dan kualitas hidup institusi sosial terendah (keluarga) semestinya menjadi fokus pembangunan warga Jakarta.

Dalam hal ini, pemerintah DKI semestinya memberikan jaminan agar warganya mendapatkan kemudahan dalam mengakses layanan-layanan publik dan hak-haknya sebagai warga Jakarta. Seperti akses ekonomi, kesehatan, pendidikan, agama, angkutan umum, taman kota dan tentu saja fasilitas publik lain yang tak kalah pentingnya bagi peningkatan kualitas hidup warga Jakarta.

Kenapa demikian? Karena tanpa disadari ketidakmampuan pemerintah DKI Jakarta dalam menjamin warganya untuk mendapatkan kemudahan dalam mengakses fasilitas publik tersebut ternyata telah memberikan ruang bagi warganya untuk menyemai benih ketidakberdayaan hidup, dan mengemis dijadikan pilihan hidup.

Akhirnya penyelesaian kasus maraknya anak-anak yang mengemis di jalanan Ibukota memang memerlukan perhatian semua pihak. Baik keluarga selaku institusi sosial terendah yang semestinya mampu memberikan pendidikan awal bagi seluruh anggota keluarganya tentang prinsip-prinsip hidup, menjamin Hak hidup, Hak kelangsungan hidup/tumbuh kembang baik fisik maupun mental, kepentingan terbaik anak (adopsi atau perceraian), Hak partisipasi/mengemukakan pendapat. Sehingga para penerus bangsa tak terjebak pada pilihan hidup yang rumit. Utamanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang semestinya memberikan jalan kemudahan bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup keluarganya.***

0 komentar

Pencurian Pulsa, Komisi I Imbau Masyarakat Pro Aktif Ikut Antisipasi

Jakarta – Kasus pencurian pulsa yang sudah sangat meresahkan masyarakat membutuhkan kerjasama dari semua pihak untuk meminimalisir dan menghentikan aktivitas bisnis kotor ini. Selain membenahi sisi regulasi dan pengawasan, penindakan tegas oleh aparat hukum, masyarakat dihimbau untuk pro aktif mengadukan kerugian yang mereka alami akibat aktivitas bisnis para pencuri pulsa.

Demikian disampaikan Anggota Panitia Kerja (Panja) Pencurian Pulsa, Fayakhun Andriadi, disela-sela Konperensi Pers Panja Pencurian Pulsa di Ruang Sidang Komisi I DPR RI, kemaren (Selasa, 29/11). Fayakhun menghimbau masyarakat untuk meluangkan waktu sedikit saja untuk mengecek bukti transaksi kartu seluler untuk mengetahui apakah sudah terjadi pencurian pulsa dan seberapa besar pulsa yang sudah dicuri.

“Sisihkan sedikit waktu saja untuk datang ke kanator layanan kartu selular terkait, dan minta bukti transaksi dua bulan terakhir. Bagi pemakai kartu post-paid/pasca bayar, adalah hak mereka untuk mendapatkan itu, sementara bagi pemakai kartu pre-paid/pra bayar, bayar biaya print sesuai ketentuan, sekitar Rp 500 perlembar. Disitu akan kelihatan apakah sudah terjadi praktek pencurian atau tidak, untuk selanjutnya melaporkan kepada aparat atau negara jika telah terjadi kasus pencurian,” saran anggota Fraksi Partai Golkar ini.

Partisipasi aktif seperti ini, lanjut Fayakhun, akan sangat membantu pihak kepolisian, pemerintah, dan juga DPR RI dalam rangka melindungi hak-hak konsumen dan menyetop aktivitas bisnis kotor tersebut.

“Panja Pencurian Pulsa membuka layanan pengaduan dari masyarakat korban melalui akses email: panjapulsa@dpr.go.id, telpon 021-5715520, faks 5715523. Bagi masyarakat yang telah menjadi korban atau memiliki bukti terkait dengan kasus pencurian pulsa, dihimbau untuk melaporkannya melalui sarana akses yang telah tersedia,” jelas Fayakhun.

Aktivitas bisnis pencurian pulsa ini, terang Fayakhun, ditaksir telah merugikan negara dan masyarakat triliunan rupiah. “Potensi kerugian bisa sampai 8 triliun jika tidak segera dihentikan,” ujarnya.

Yang mengeruk keuntungan utama dari pencurian ini, menurut Fayakhun adalah content provider bekerjasama dengan penyedia layanan jasa telekomunikasi yang aset/modalnya banyak dimiliki oleh investor dari luar negeri Sementara korbannya adalah rakyat Indonesia. “Ini berarti duit rakyat Indonesia dirampok oleh pengusaha luar negeri, dibawa ke luar negeri,” ujar Fayakhun dengan nada geram.

Atas alasan itu, masyarakat bisa pro aktif membantu Panja Pencurian Pulsa DPR RI dengan cara memberikan masukan dan menyampaikan bukti-bukti pencurian terkait pencurian pulsa.

Penggil Pihak Terkait

Sementara itu, Ketua Panja Pencurian Pulsa DPR RI, Tantowi Yahya menyatakan Panitia Kerja (Panja) Pencurian Pulsa Komisi I DPR RI akan memanggil pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) hingga perwakilan konsumen pada 1 Desember 2011. Pemanggilan tersebut terkait Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait kasus pencurian pulsa.

Ketua Harian Panja Komisi I DPR RI Tantowi Yahya menjelaskan pemanggilan instansi dan perwakilan konsumen ini akan menambah bukti-bukti yang selama ini dikumpulkan oleh tim Panja Pencurian Pulsa.

"Rencananya kami akan memanggil mereka pada 1 Desember 2011 pukul 10.00 WIB. Itu sebagai langkah awal kami dalam mengawasi kasus pencurian pulsa," ungkap Tantowi.

Selain menghadirkan institusi tersebut, DPR juga akan memanggil content provider dan operator telekomunikasi, serta mengundang aparat hukum dan pakar telekomunikasi. Dengan menghadirkan mereka, DPR akan mendapat kejelasan atas kasus tersebut.

Pada 1 Desember itu, DPR akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pertama kali untuk membahas kasus pencurian pulsa secara lebih rinci. RDPU kedua akan digelar pada 18 Desember 2011. Selanjutnya akan digelar pada masa sidang Januari hingga Maret 2012.

Wakil Ketua Harian Panja Pencurian Pulsa Helmy Fauzy mengungkapkan pemanggilan beberapa instansi dan perwakilan konsumen itu disebabkan karena ada indikasi bahwa CP maupun industri terkait sedang menguras uang rakyat secara ilegal.

"Kami ingin mencari tahu kebenaran kasusnya seperti apa. Jangan sampai ada uang rakyat yang diambil secara sistematis," kata Helmy.

Selama ini DPR hanya mendengar pengaduan dari konsumen terkait kasus pencurian pulsa tersebut. Agar lebih berimbang, maka DPR menghadirkan perwakilan dari pemerintah, regulator, industri dan perwakilan konsumen.(afr)

0 komentar

Fayakhun: Komisi I antisipasi dinamika “Arab Spring”

Pekanbaru (ANTARA News) – Anggota Komisi I DPR RI bidang luar negeri, Fayakhun Andriadi menyatakan, puas dengan hasil pertemuan pihaknya bersama 17 Perwakilan RI di negara-negara Islam untuk mengantisipasi dinamika perubahan global, termasuk “Arab Spring”.

0 komentar

“Gorong-Gorong” SEA Games

Kaget, gemas, dan tak habis pikir. Pikiran dan perasaan saya bercampur aduk ketika melihat pengerjaan galian gorong-gorong atau saluran air di jalan Sudirman (juga lokasi lainnya seperti belakang Gedung DPR) masih berserakan-berantakan di saat Jakarta kedatangan tamu dari banyak negara terkait pelaksanaan Sea Games XVII.  Sebegini burukkah manajemen pengelolaan semua hal di DKI Jakarta ini, bahkan hal yang nampak sepele namun amat vital : gorong-gorong, sampai tak terkendali dengan baik? (kesemrawutan gorong-gorong ini diliput massif oleh banyak media)

0 komentar

Polemik Hibah F-16

Kesepahaman antara DPR dan pemerintah dalam pengadaan F-16 masih terus mencari titik temu dari segi teknologi dan pembiayaan. Komisi I DPR, sebagai mitra pemerintah dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional, memberikan beberapa persyaratan dan skema pembiayaan. Seperti apa? Berikut saya paparkan polemik sekitar ini.

0 komentar

Dampak Krisis AS ke Asia Minimal

SINGAPURA– Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai pertumbuhan ekonomi kawasan Asia hanya akan terkena dampak minimal dari pelambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Kepala Ekonom ADB Changyong Rhee mengatakan,pihaknya akan memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia untuk tahun ini dan berikutnya, khususnyauntuknegara-negara ekonomi berkembang.

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)