Berharap Pada Monorail (?)


Akhir tahun 2012, Jakarta kembali riuh gemuruh oleh proyek kereta rel tunggal (monorail). Wacana tersebut bergulir setelah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menegaskan akan melanjutkan proyek yang telah lama mangkrak itu. Dalam rencananya, kereta tersebut akan melintasi rute Jalur Hijau; Kuningan, Dukuh Atas, Pejompongan, Senayan, Gatot Subroto, SCBD dan Jalur Biru; Kampung Melayu, Tebet, Casablanca, Tanah Abang, Mall Taman Anggrek.

Setidaknya ada beberapa alasan mendasar mengapa monorail berhasil membangunkan harapan masyarakat untuk terbebas dari macet berkepanjangan. Pertama, rel tunggal tak akan dilalui oleh kendaraan lain. Sehingga kereta tersebut melaju tanpa berebut tempat dengan angkutan lainnya. Akhirnya kereta monorail akan mengantar penumpang jauh lebih cepat dari Bis Transjakarta atau angkutan umum lainnya. Selain itu, jalur strategis jaringan monorail yang mengitari seantero kota Jakarta, mampu mendekatkan khalayak dengan tempat tujuan penumpang.  Akhirnya, efisensi pergerakan orang dan barang tejadi dengan tepat waktu, aman dan nyaman.

Jika melihat Malaysia, negara tersebut sukses menjadikan monorail sebagai moda transportasi yang mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.  Sementara Jakarta yang sudah sejak lama menghadapi persoalan kemacetan, baru menggagas monorail tersebut.

Di tengah kondisi real jalanan kota yang terus didera kemacetan, mewujudkan kereta monorail adalah sebuah terobosan yang perlu segera dilakukan. Hal ini untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik, menekan pertumbuhan kendaraan pribadi.

Sekalipun demikian, monorail hanyalah moda transportasi alternatif yang dianggap paling mujarab dalam membersihkan Jakarta dari kemacetan. Perlu adanya pemikiran mendalam untuk mewujudkannya. Hal itu penting dilakukan untuk menghindari kegagalan serupa bis Transjakarta.

Matinya Transportasi Publik
Di Jakarta, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk terjebak macet. Situasi macet terjadi saat sistem tranportasi yang ada sudah tidak mampu lagi untuk mengalirkan lalu lintas. Saat jalan raya sudah tidak lagi menyediakan cukup ruang bagi pergerakan orang dan distribusi barang lalu membuat posisi saling mengunci antar kendaraan.

Berdasarkan dokumen Pola Transportasi Makro Jakarta dan Studi Integrated Transport Master Plan (SITRAMP) Jabodetabek menyebutkan bahwa kemacetan di jalanan Jakarta terjadi akibat motorisasi besar-besaran yang terjadi dan ketidaknyamanan sarana tranportasi. Motorisasi adalah sebuah pola ketergantungan mobilitas masyarakat kota terhadap kendaraan pribadi atau sepeda motor.

Dalam rentang perkembangannya, kendaraan pribadi dan sepeda motor tumpah ruah melebihi jumlah tranportasi publik yang ada. Berdasarkan data Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya, tahun 2010 jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 11.362.396. Dari angka tersebut, kendaraan roda dua lebih mendominasi dengan jumlah 8.244.346 unit. Tahun 2012, sebanyak 13.062.396 kendaraan semakin menumpuk di jalanan Jakarta.

Sebenarnya dua persoalan penyebab macet (motorisasi dan ketidaknyamanan sarana transportasi) saling berkait. Selalu hadir bersamaan saat macet melanda lalulintas Jakarta. Motorisasi terjadi salah satu diantaranya karena banyak orang sudah tidak lagi percaya pada transportasi publik. Karena itu pola tingkah masyarakat dalam melakukan perjalanan di Jakarta lebih memilih kendaraan pribadi atau sepeda motor daripada menggunakan transportasi publik. Kecenderungan macam ini lebih merupakan pilihan rasional masyarakat terhadap kondisi kendaraan yang ada di Jakarta. Dengan meminjam data survei JICA SITRAMP, menyebut aspek keamanan dan kenyamanan menjadi alasan memilih kendaraan pribadi atau sepeda motor.

Motorisasi Jakarta
Jalan raya lahir untuk melayani hajat orang banyak. Setiap warga memiliki hak yang sama untuk menyintas dan menyeberang di jalan. Jalan raya pada awalnya adalah ruang interaksi banyak orang. Di jalan setiap individu memililiki kesempatan yang sama dalam menggunakan setiap ruas jalan.

Dalam diskursus transportasi, Jakarta pada tahun 1970-an selalu menjadi rujukan moda transportasi humanis aman dan ramah lingkungan. Bagaimana moda transportasi yang ada mengikuti bentuk dan ruas jalan. Untuk jarak dekat, masyarakat Jakarta hanya membutuhkan becak sebagai alat transportasi dan trem untuk jarak jauh. Moda trasnportasi yang berkembang saat itu tidak kontraproduktif dengan keberadaan ruas jalan dan kebutuhan masyarakat. Artinya, kehadiran alat transportasi itu seharusnya berkait erat dengan lingkungan jalan raya dan melibatkan partisipasi masyarakat kota dalam menentukan moda transporatsi dan regulasi transportasi. Sehingga jalanan raya menyediakan cukup ruang bagi publik untuk hajat orang banyak. Demikian juga transportasi memainkan fungsinya sebagai transportasi publik yang tidak menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Tumbuh berkembangnya kendaraan pribadi dan sepeda motor di Jakarta menandai fase kontestasi moda transportasi. Setiap orang saling berebut memiliki kendaraan pribadi paling mewah dan mahal.

Kontestasi lainnya berupa saling serobot di jalan raya. Di jalan, motor selalu berebut posisi raja jalanan dengan angkutan umum dan kendaraan pribadi. Ketiganya saling salip untuk mengisi ruas jalan yang kosong tanpa peduli pada tertib lalu lintas yang ada. Sementara itu, pejalan kaki harus terus mengalah berada di trotoar jalanan yang sempit dan sangat tak nyaman.

Bahwa kemacetan lalu lintas yang menghantui Jakarta saat ini, merupakan implikasi dari matinya tranportasi publik dan rumitnya tata kelola transportasi. Dengan kata lain pemerintah tidak pernah beres dalam menyediakan tranportasi publik yang nyaman dan aman bagi masyarakat jakarta. Seperti tumpang tindih trayek, buruknya kualitas angkutan umum, semakin tingginya jumlah kendaraan pribadi dan sepeda motor daripada tranportasi publik merupakan persoalan yang setiap hari menambah rumit kemacetan di Jalan.

Monorail
Dalam spektrum tata kota, transportasi dapat dipahami sebagai aktivitas perpindahan orang bukan perpindahan kendaraan. Di Indonesia kesadaran masyarakat kota lebih memaknai transportasi sebagai perpindahan orang dan kendaraan sekaligus. Sehingga kemacetan lalulintas terjadi disebabkan menumpuknya kendaraan yang mengorbankan pengertian mendasar transportasi.

Anthony Downs (1994) menyebut transportasi dengan menekankan aspek aksesibilitas. Yaitu aktivitas untuk sampai ke tujuan yang diinginkan. Teori aksesibilitas dapat digunakan untuk mengakhiri bencana macet di Jakarta dengan menolak pelebaran jalan raya. Pelebaran jalan raya memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap semakin bertambahnya jumlah kendaraan.

Dari aksesibilitas tersebut, Downs melakukan dua pendekatan untuk mengakhiri macet; pertama, menggunakan angkutan umum yang terintegarasi saat melakukan perjalanan di Jakarta. Kedua, mengurangi tingkat perjalanan seseorang dengan memposisikan tempat kerja, permukiman, tempat belanja saling berdekatan.

Rencana melanjutkan proyek rel tunggal (monorail) sebagai terobosan pemerintah dalam menyediakan transportasi publik patut disambut positif. Pemerintah mulai ada komitmen untuk mengurangi macet berkepanjangan. Hal ini diharapkan dapat mengatasi ketidakmampuan Bis TransJakarta dalam mengakhiri macet. Setidaknya, harapan masyarakat menemukan transportasi publik aman dan nyaman akan terwujud.

Disamping menyediakan monorail, pemerintah juga penting menyediakan sistem pengumpan, yaitu menyediakan angkutan kota yang memiliki trayek angkutan yang dapat memudahkan masyarakat mengakses monorail. Karena itu penataan rute atau trase perlu dikaji ulang untuk menghindari potensi ketidaksesuaian trayek antara pengumpan, monorail dan angkutan umum lainnya.

Penataan kembali trayek menjadi hal penting untuk menghasilkan sebuah sistem transportasi yang terintegerasi. Selain itu, membatasi kendaraan adalah sebuah pilihan yang juga perlu dilakukan pemerintah. Untuk keluar dari bencana macet berkepanjangan, jumlah kendaraan di Jakarta sudah terlalu menumpuk. Sebab itu, membatasi kendaraan dapat dilakukan dengan menekan angka pertumbuhan kendaraan atau membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Kepada yang pertama, pemerintah setidaknya perlu bekerjasama dengan perusahan produski kendaraan bermotor dengan meninggikan pajak produksi. Kepada yang kedua, pemerintah perlu meninggikan biaya registrasi kendaraan dan pajak jalan tahunan. Seperti lelang kepemilikan kendaraan Certificate of Entitlement (COE) yang dilakukan Singapura dan Jepang. Sederhananya, agar Jakarta terbebas dari macet, pemerintah perlu mengarahkan pilihan masyarakat terhadap monorail dan memberikan syarat ketat untuk memiliki kendaraan pribadi dan sebaliknya, terus mengembangkan dan menjaga kemanan-kenyamanan transportasi publik.***

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)