AKSES INFORMASI RAKYAT HARUS DILINDUNGI


Kontroversi Undang-undang Penyiaran
Jakarta, RM. Anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi mendukung penerapan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Hak akses informasi rakyat harus dilindungi. Rakyat harus diberikan kebebasan untuk mengakses informasi, baik informasi tentang daerah maupun pusat.
Dia mengakui, saat ini terjadi kontroversi tentang penerapan UU Penyiaran. Dia menegaskan, kontroversi bahwa televisi nasional tidak boleh mengudara di daerah dan dan hanya TV lokal yang boleh beroperasi di daerah, tidak diatur dalam perundang-undangan tersebut. Selain itu tidak ada sanksi bagi stasiun televisi yang belum bisa menerapkan peraturan itu.
Jadi tidak perlu ada kekhawatiran atas pemberlakukan UU Penyiaran ini,” katanya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.
Untuk diketahui, tenggat pemberlakuan UU Penyiaran sudah habis terhitung tanggal 28 Desember 2009. Pemberlakuan UU Penyiaran ini telah ditunda berkali-kali sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri. “Kini diharapkan tidak ada lagi penundaan,” kata Fayakhun.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini menegaskan, yang membuat rancu pemberlakuan UU Penyiaran adalah Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 bahwa televisi nasional tidak boleh beroperasi lagi di daerah dan hanya televise lokal yang boleh beroperasi di daerah. Padahal, kata dia, ada dua hal yang secara jelas diatur dalam UU Penyiaran. Yaitu, diversity of ownership (kepemilikan) dan diversity of content (materi).
“Terhadap diversity of content, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah membuat aturan, bahwa TV nasional harus mengandung local content. Sedangkan diversity of ownership, ukurannya adalah kepemilikan saham. Saya melihat, sebagian TV-TV sudah lebih dari itu,jelasnya.
Dia mengingatkan, sebaiknya Menkominfo Tifatul Sembiring merevisi dan menyempurnakan PP No. 50/2005 tersebut. “Kami sebagai anggota dewan juga melindungi aspirasi masyarakat. Masyarakat tidak boleh dibatasi untuk mengakses informasi,” terang politisi muda partai beringin ini.
Sebenarnya, kata Fayakhun, di era digital sekarang ini, UU No 32/2002 tersebut sudah ketinggalan jaman. Lahirnya UU itu dilatari karena terbatasnya pemancar televisi yang hanya berjumlah 14 pemancar. Dikhawatirkan, dengan terbatasnya pemancar itu, daerah tidak mempunyai televise local.
Tetapi dengan digital, satu kanal saja bisa dibelah jadi 6 saluran. Berarti yang tersedia bukan hanya 14, tetapi sudah 84 (hasil dari 14 kali 6). Jadi kalau TV nasional ada 10 buah, berarti ada 74 frekuensi lagi yang bisa dipakai,” terangnya.
Dia menambahkan, teknologi yang terus berkembang harus terus diantisipasi. Pada tahun 2010, kata dia, Komisi I DPR sudah memasukkan RUU Konvergensi dalam prioritas prolegnas (Program Legislasi Nasional) yang menggabungkan beberapa undang-undang. “Salah satunya Undang-undang No. 32/2002 disempurnakan, sudah bersinggungan dengan Undang-undang Telekomunikasi tahun 1999,” tandasnya.
Diketahui, UU Penyiaran sudah mulai digodok pada tahun 1999. Ketika UU Penyiaran ini selesai dibahas, Presiden Abdurrahman Wahid sudah lengser. Megawati Soekarnoputri sebagai presiden berikutnya tidak mau tanda-tangan. Pada 28 Desember 2002 undang-undang ini berlaku dengan masa tenggang 3 tahun. Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran ditunda hingga dua kali pergantian Menteri Komunikasi dan Informasi. RN
Sumber: Koran Rakyat Merdeka, Jumat, 1 Januari 2010, hal 8

BERITA

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)