Kader Beringin DPR Minta Tidak Ada Anak Emas Remunerasi Lagi

Jakarta, RM. Remunerasi bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih saja menjadi sorotan. Kali ini, kritik datang dari anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi. Menurut dia, ada peng-anakemas-an kementerian terkait remunerasi.

“Kenapa Kementerian Keuangan yang pertama dalam program remunerasi. Kenapa tidak serentak diberlakukan. Toh, semua kementerian juga harus melakukan reformasi birokrasi,” katanya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Khun—begitu biasa politisi muda Partai Golkar itu disapa—seharusnya dalam implementasi reformasi birokrasi yang salah satunya adalah pemberian remunerasi, semua kementerian mendapatkan perlakuan serupa. Misalnya saja, katanya, TNI, Polri, Kejaksaan dan guru.

Dia mengatakan, ketiga instansi dan satu profesi itu layak diberikan remunerasi. Sebab, keempat-empatnya merupakan titik-titik yang memang sangat perlu diperhatikan oleh negara.

“Kenapa TNI/Polri berhak dapat remunerasi, itu organ yang diberi kewenangan pegang bedil. Setingkat golongan III A, di TNI itu Letnan Dua. Kalau Letnan Dua dapat gaji plus remunerasi Rp 12 juta, saya yakin mereka akan bertugas lebih profesional,” ujarnya.

Lalu kenapa Kejaksaan dan guru harus dapat remunerasi juga? “Kejaksaan itu yang pegang hukum di tangannya. Kalau untuk hidup saja mereka masih susah, bagaimana hukum bisa tegak,” jawab Khun lagi.

Sedangkan profesi guru, Khun beralasan, masa depan bangsa ini berada di tangan para guru. Karena itu, kesejahteraan guru harus ditingkatkan sehingga bisa betul-betul mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa.

“Kita bicara hari ini dan masa depan. Hari ini itu polisi, tentara, jaksa, depkeu. Sedangkan masa depan itu guru,” tandasnya.

Akibat dari perlakuan peng-anakemas-an itu, Kementerian Pertahanan, Kepolisian dan Kejaksaan belum bisa memberlakukan remunerasi. Kata dia, Kemenhan baru direstui dapat remunerasi pada 2009 dan sekarang masih menata internal.

“Kalau saja political will remunerasi dilakukan sama dengan Kementerian Keuangan, 2006, maka sekarang sudah jalan reformasi birokrasi di TNI/Polri,” katanya.

Dia menambahkan, kasus markus pajak Gayus Tambunan tidak boleh menghentikan program reformasi birokrasi yang salah satunya remunerasi. Kalau sekarang ada kasus markus pajak, maka penataan sistem remunerasinya yang harus diperbaiki dan terus disempurnakan.

“Reformasi birokrasi adalah komitmen kita. Kasus Gayus Tambunnan harus kita dijadikan pelajaran. Siapa saja yang melakukan korupsi, harus dihukum, baik secara administrasi kepegawaian maupun pidana,” tandasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi II dari Fraksi PAN, Rusli Ridwan mengusulkan akan memanggil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan. Pemanggilan Menteri asal Partai Demokrat itu dengan agenda pembahasan wacana penghentian remunerasi.

“Dugaan korupsi yang dilakukan oknum di Ditjen Pajak mengindikasikan remunerasi tidak berjalan sesuai harapan. Karenanya, Komisi II akan memanggil Menpan dan Reformasi Birokrasi untuk membahas persoalan ini,” ujar Rusli di Jakarta.

Remunerasi, lanjut dia, perlu ditinjau ulang karena sebagian besar kementerian belum memiliki sistem yang jelas. Internal pada setiap kementerian juga perlu diperbaiki. Poin utama yang harus diubah adalah cara pandang birokrat dalam melakukan pelayanan publik.

“Ke depan, pemberian remunerasi harus disesuaikan dengan punishment (hukuman), apa (jabatan) dan sejauhmana tanggung jawabnya. Selain itu tidak boleh ada prioritas orang-orang pada departemen tertentu,” tegas anggota DPR dari daerah pemilihan Banten II ini. RN/ONI

Sumber: Rakyat Merdeka, Sabtu 10 April 2010

BERITA
Politik

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)