Refleksi Akhir Tahun 2010
(Panta Rhei Kai Uden Menei;
Semuanya Mengalir dan Tidak Ada Sesuatupun yang Tinggal dan Tetap)
Herakleitos
Pergantian hari dan bulan telah menghantar kita ke penghujung tahun 2010. Banyak dinamika dan perubahan yang terjadi, tidak kurang pula peluang dan tantangan masih mengemuka di depan mata. Konstalasi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya bergerak seiring dengan tuntutan dan harapan pada terwujudnya kehidupan yang lebih baik.
Masa satu tahun tentu tidaklah cukup untuk mengukur sebuah capaian perubahan. Namun, paling tidak, berbagai peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya berbagai kebijakan bisa menjadi pegangan dalam melihat bagaimana bangsa kita merespons persoalan kehidupan dalam upaya mewujudkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan bagi semua.
Realisasi MEF
Awal 2010, kita dihadapkan pada tantangan kehidupan global yang semakin dinamis. Sebuah tantangan yang menggugat rasa keindonesiaan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Hanya saja kesadaran tentang kedaulatan itu masih cenderung direspons dengan laku teoritis dan retoris daripada dimensi praktis yang merupakan kebutuhan utama.
Kondisi itu tampak dengan jelas tatkala kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) tidak kunjung terpenuhi. Sebuah realitas yang sulit untuk diterima, mengingat begitu pentingnya kemampuan, penguasaan, dan pemenuhan terhadap alutsista dalam menjaga kewibawaan martabat Indonesia di panggung Internasional.
Bangsa ini telah mampu membuat alutsista “basic” seperti pistol, senapan, senapan mesin, amunisi kaliber kecil, kaliber menengah hingga kaliber besar, meriam, roket, panser, kapal patroli, kapal cepat, kapal angkut, pesawat angkut ringan, radar pantai dan lain sebagainya. Ini merupakan modal pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk menguasai dan memproduksi alutsista canggih secara mandiri. Hanya saja, pemerintah belum juga punya political will untuk menuju negara yang ini memiliki kemandirian, apalagi sampai pada taraf swasembada alutsista. Implikasinya, bangsa kita masih banyak bergantung kepada negara lain untuk pengadaan alutsista.
Kemampuan kita yang masih terbatas dalam memproduksi alutsista, plus belum adanya political will dari pemerintah menuju kemandirian alutsista, menyebabkan ketersediaan alutsista masih jauh dari kondisi ideal. Alih-alih mewujudkan mimpi memiliki sistem dan alat persenjataan yang kuat, untuk sekedar memenuhi target minimum essential force (MEF) saja, postur dan struktur pertahanan kita masih terbentur paradigma, pola pikir dan mekanisme birokrasi yang usang dan berbelit.
Kemampuan ekonomi sering menjadi alasan utama yang membuat pemenuhan tidak hanya menjadi angan-angan belaka, tapi juga terkesan tidak pernah relevan untuk menjadi fokus pembicaraan pada tataran pengambil kebijakan. Berderet peristiwa cukup menggerus jati diri dan harga diri bangsa, untuk sekedar memantik kesadaran dalam upaya meracik strategi memenuhi target MEF. Berbagai kasus sengketa wilayah perbatasan, pelanggaran kedaulatan wilayah udara maupun pelanggaran wilayah batas perairan laut serta economic international crime tidak bisa diatasi secara maksimal. Belum lagi tantangan-tantangan yang bersifat asimetrik yang tidak hanya berdampak pada ancaman fisik, tapi juga ancaman sosial dan budaya yang justru lebih mampu menyusup kesadaran dan meruntuhkan nilai-nilai luhur kebangsaan dan keindonesiaan.
Atas dasar itulah, seiring dengan kesadaran tentang nasionalisme yang tidak sekedar sebatas teori dan retorika dan perubahan paradigma tentang bagaimana memenuhi dan meracik strategi pemenuhan alutsista, Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Komisi I yang membidani masalah pertahanan menyetujui dan merealisasikan MEF sebesar Rp 11 triliun dalam anggaran pertahanan 2011. Realisasi ini merupakan langkah awal untuk seterusnya memenuhi anggaran MEF Rp 150 triliun hingga 2024.
Tentu saja, pemenuhan sistem alustista ini tidak sekedar dipandang dari sudut nilai nominal anggaran yang dikeluarkan dari pinjaman dalam dan luar negeri, tapi juga niat dan komitmen politik yang kuat dan tulus (political will) dari para pengambil kebijakan. Karena itulah, pemerintah dan DPR perlu untuk terus memikirkan strategi-strategi alternatif untuk memenuhi target anggaran tanpa mengabaikan pemenuhan sektor-sektor lain yang juga sangat penting untuk direalisasikan. Pembiayaan yang bersumber dari sektor sumber daya alam, sumber daya manusia dan pengalaman riset dan teknologi adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan, serta optimalisasi peran industri-industri pertahanan strategis. Paling tidak untuk menunjukkan keseriusan dan kemandirian kita dalam memenuhi dan memodernisasi kebutuhan alutsista.
Kekuatan Diplomasi
Selain realisasi MEF yang mengurai peliknya dilema alutsista dalam negeri, tahun 2010 juga merupakan ujian bagi karakter diplomasi pemerintah Indonesia dengan negara lain. Pengalaman pemberlakuan China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA) pada 1 Januari 2010, menguras energi politik dan ekonomi terkait dengan kesiapan infrastruktur dalam negeri. Insiden penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulau Riau oleh Polisi Diraja Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Bintan, tepat beberapa hari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia ke-65, cukup menghentak opini publik.
Terlepas dari polemik tentang kesepakatan batas laut antara Indonesia dan Malaysia, aksi arogan negeri jiran tersebut tidak direspons dengan ketegasan sikap pemerintah Indonesia. Ironisnya, insiden serupa dengan berbagai macam tingkah dan bentuk, bukan untuk pertama kalinya terjadi.
Konsekuensinya, insiden ini tidak hanya semakin mendegradasi legitimasi Indonesia sebagai negara besar, tapi juga semakin mengerdilkan peran diplomasi pemerintah Indonesia yang bukan hanya tidak mampu menekan pemerintah Malaysia untuk menaati asas dan aturan internasional yang mengakui eksistensi Indonesia sebagai negara maritim, tapi juga mengindikasikan kelemahan diplomasi kita yang untuk kesekian kalinya gagal menunjukkan kebesarannya, meski hanya sekedar membuat negeri jiran itu menyampaikan kata “maaf”.
Boleh jadi kelemahan diplomasi inilah yang mengidentifikasi pandangan negara-negara lain terhadap Indonesia. Hanya berselang sebulan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono membatalkan kunjungannya ke Belanda, hanya karena sebuah informasi bahwa Pemerintah Republik Maluku Selatan akan melakukan tuntutan penangkapan ke Pengadilan Den Haag terkait dengan persoalan hak asasi manusia di Indonesia.
Kunjungan pemerintah Indonesia untuk bertemu dengan Ratu Beatrix dan pemerintah Belanda terbilang cukup penting, mengingat agenda tersebut telah dijadualkan sejak 4 tahun sebelumnya. Sementara tuntutan dari sebagian kecil pendukung RMS yang hidup di pengasingan adalah fenomena biasa dan seharusnya bisa ditanggapi dengan baik, tanpa harus menafikan kepentingan bangsa yang lebih besar, terkait dengan pengakuan tertulis Pemerintah Belanda atas kemerdekaan Indonesia.
Belum lagi persoalan tenaga kerja Indonesia yang kembali mencuat kepermukaan karena peristiwa penyiksaan beberapa orang tenaga kerja wanita yang bekerja di Arab Saudi dan Malaysia, sampai puluhan TKW yang hidup menggelandang di bawah kolong jembatan di Arab Saudi.
Realitas ini semakin menambah deretan luka dan duka yang tidak hanya berimbas secara fisik, tapi juga mengendapkan stigma Indonesia sebagai negara besar yang cukup kerdil tatkala berhadapan dengan persoalan diplomatik. Lemahnya koordinasi antarlembaga yang memiliki tugas intelijen terkait dengan kondisi objektif luar negeri dan posisi Indonesia dalam berbagai hubungan bilateral, regional maupun multilateral semakin menggerus nilai tawar diplomatik kita di hadapan negara lain.
Krisis Korea
Setelah bergelut dengan pemenuhan target MEF dan dampak siginifikan dari lemahnya postur dan sistem alutsista, serta nilai tawar diplomasi luar negeri yang masih rendah, di penghujung 2010, publik dunia dihebohkan dengan peristiwa invasi Korea Utara ke Yeonpyeong yang menewaskan dua tentara marinir Korea Selatan, belasan terluka, dan menyulut ledakan yang membakar sejumlah rumah pemukiman. Konflik yang tidak pernah sepi dari latar belakang ideologis dan melibatkan dua negara raksasa (Amerika Serikat dan china), dan terus berlanjut hingga saat ini, turut mempengaruhi masa depan pembangunan alutsista dalam negeri.
Korea Selatan merupakan salah satu negara penting yang menjalin kerjasama alustista dengan Indonesia. Dua kali kunjungan pemerintah Korea Selatan pada Agustus dan Oktober lalu, yang diwakili Menteri Pertahanan Korea Selatan, Kim Tae-Young dan Kepala Staf Angkatan Darat Korea Selatan, Jenderal Eui Don-Hwang, di Jakarta membicarakan kerjasama industri pertahanan dan militer dengan Korea Selatan.
Korea Selatan merupakan negara yang terkenal dengan kecanggihan teknologi alutsista yang juga menjadi salah satu sumber kemakmuran ekonomi dalam negeri mereka. Tatkala krisis Korea cenderung mencapai titik kulminasi di ambang perang terbuka, tentu saja membuahkan persoalan besar bagi harapan Indonesia untuk menjalin kerjasama alutsista. Meski demikian, pola dan karakter diplomasi yang sudah terlanjur lemah, tidak memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap kondisi tersebut.
Padahal, tidak sedikit poin kerjasama yang telah dihasilkan dari dua pertemuan tersebut. Pertemuan Menhan, Purnomo Yusgiantoro dengan Kim Tae-Young, salah satunya membahas proyek pembuatan pesawat tempur KFX yang rencananya dimulai pada 2012. bahkan kerja sama tersebut diharapkan bisa menghasilkan prototipe pesawat tempur pada 2020, dengan mewujudkan Indonesia sebagai base produksi. Indonesia juga berencana memesan pembuatan kapal selam 2-4 buah, kapal perang, melakukan kontrak pembelian panser, juga meriam. Alat perlengkapan pun tidak luput dari kerjasama dengan Korea Selatan, salah satunya adalah parasit yang telah dipesan 2 tahun lalu. Mengingat kondisi krisis Korea yang justru terkesan menempatkan Korea Selatan sebagai pihak yang tersubordinasi, justru signifikansi kerjasama alutsista menjadi menurun.
Di tengah upaya peningkatan alutsista dengan dukungan anggaran besar, sangat disayangkan bahwa pemerintah Indonesia tidak bersikap pro-aktif memantau kondisi krisis Korea. Masyarakat patut memandang persoalan ini sebagai persoalan yang akan berdampak signifikan pada dimensi pertahanan dan kedaulatan bangsa. Sebab, dampak krisis Korea secara logis akan membuat Korea Selatan lebih banyak berpikir tentang kondisi alutsista mereka sendiri, sebelum terlebih lanjut melakukan kerjasama dengan negara lain, termasuk Indonesia.
Keseriusan Pemerintah Jakarta
Berharap pada perubahan memanglah tidak semudah membalik telapak tangan. Niat tulus disertai dengan dukungan para pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menegakkan supremasi kedaulatan bangsa sangatlah penting untuk direalisasikan. Tentu saja, pola pikir dan paradigma masa lalu dan usang tidak boleh menjadi hambatan dalam membangun harapan dan cita-cita kita bersama.
Bangunan sistem alustista dan mindset postur pertahanan yang mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan saat ini harus menjadi landasan dan pijakan bersama dalam menata dimensi praksis kedaulatan kita. Kita patut menaruh kebanggaan dan harapan besar pada kebijakan anggaran pertahanan yang mengalami peningkatan dan memiliki fokus dan alokasi yang jelas sesuai dengan kebutuhan. Namun, hal itu tidaklah cukup jika tidak didukung oleh kualitas diplomasi luar negeri yang kuat. Imbasnya, tetap saja kita menjadi bangsa yang subordinatif di bawah kekuasaan kepentingan negara-negara lain.
(Karikatur Rakyat Merdeka)
Selain itu, tidak cukup hanya berharap pada kebijakan anggaran pertahanan dan diplomasi yang kuat, tanpa kembali melirik sejauh mana kesiapan infrastruktur dalam negeri. Tata kelola kota yang carut-marut tanpa peruntukan dan desain yang terstruktur, ruas jalan yang tidak mengakomodasi kepentingan transportasi yang baik dan nyaman, serta ketidakseriusan pemerintah daerah dalam menjamin fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Sepintas, mungkin cukup jauh jika menghubungkan fenomena ini dengan realisasi MEF, kemandirian alutsista, diplomasi luar negeri yang lemah atau masa depan kita dengan kondisi krisis di semenanjung Korea. Namun, bukankah semua itu terkait dengan kesiapan kita dalam merespons kondisi kehidupan global yang semakin dinamis? Bukankah tata kelola kota yang carut-marut justru sangat berimbas pada produktivitas ekonomi dalam negeri yang juga akan berpengaruh pada sumber pembiayaan berbagai sektor vital? Bagaimana mungkin kita membangun dan membesarkan negara sebesar dan seluas Indonesia ini lalu memperkuat eksistensinya di mata dunia, jika kondisi internal dalam negeri sendiri tidak terjamin dengan baik?
Tak perlu jauh berkaca, cukup dengan menyaksikan dengan kasat mata realitas kehidupan Jakarta yang merupakan ibu kota negara Indonesia. Kiranya tidak keliru untuk menyatakan dengan tegas, bahwa realitas carut-marut kehidupan Jakarta adalah cermin realitas kehidupan bangsa ini secara umum. Tidak perlu berlindung di balik kondisi Jakarta yang memang sudah sejak dulu telah dipadati jutaan manusia. Tanpa desain tata kota kota yang baik dan futuristik, sudah cukup mengindikasikan bahwa pemerintah Jakarta, hingga saat ini, tidak memiliki paradigma masa depan tentang bagaimana menata kota dengan baik dan benar. Sungguh sayangkan, kehidupan Jakarta ibarat bergerak sendiri tanpa nahkoda. Duka dan derita akibat banjir dan macet menjadi tradisi yang “sangat lazim”, bahkan menjadi tidak wajar jika tanpa tradisi tersebut.
Kritik konstruktif tidak pernah menjadi bahan masukan untuk dijadikan pelajaran, paling tidak sekedar untuk mengintropeksi diri, bahkan semakin larut dalam egoisme birokratis. Tak cukup menutup mata dengan kondisi tersebut, berbagai kebijakan kontroversial justru ditawarkan. Sekedar contoh, bukannya merespons kondisi ibu kota yang semakin parah, pemerintah DKI Jakarta justru menghembuskan kebijakan menarik pajak 10% dari penghasilan warung tegal (warteg), yang justru menjadi penghasilan hidup rakyat kecil.
Sulit memahami logika pemerintah, tatkala warteg dan warung-warung kecil ditarik pajak. Mereka adalah pegiat usaha yang berasal dari kalangan masyarakat kecil dan sederhana dengan tradisi yang serba sederhana demi harga jual produk yang murah dan terjangkau. Pemerintah justru melepaskan diri dari tanggung jawab utamanya sebagai penyelenggaran kesejahteraan sosial dan membebankan tanggung jawab itu pada rakyat kecil. Sebagai penyelenggara, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan sosial sebagai upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Refleksi atas Kedaulatan
Meminjam ungkapan Filsuf Yunani Kuno, Herakleitos: panta rhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal dan tetap. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Hanya saja, perubahan harus dikawal dan dituntun agar sesuai dengan harapan dan cita-cita kita bersama. Jika tidak, perubahan hanya membawa pada kehancuran.
Kita patut berterima kasih pada demokrasi yang telah membuka keran partisipasi rakyat untuk bersuara dan berpendapat demi kemajuan bangsanya. Lebih sepuluh tahun masa transisi yang telah kita lewati, cukup memberi pelajaran berharga, betapa upaya membangun bangsa yang besar, berdaulat, adil dan makmur, bukanlah usaha yang mudah. Terlalu banyak rintangan dan hambatan yang harus kita lalui. Tantangan dan ancaman telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk dan pola. Banyak yang kita sadari, tidak kurang pula yang kita tidak sadari. Tanpa dukungan sarana, prasarana dan infrastruktur kebangsaan dan keindonesiaan, tantangan hanya akan senantiasa menjadi ancaman, sulit menjadi peluang untuk mendatangkan keuntungan.
Meminjam pemikiran Alvin Toffler, kekuatan, kemampuan dan daya tawar negara di era global sangat ditentukan oleh kemampuan mempengaruhi serta menekan negara lain (power/politics), wealth (ekonomi), dan knowledge (ilmu pengetahuan dan teknologi). Realisasi MEF cukup membuktikan keseriusan kita dalam menyiapkan diri untuk memapankan eksistensi di hadapan negara-negara lain. Meski kita harus mengakui kekuatan diplomasi yang kuat tidak kalah penting untuk mendukung eksistensi kekuatan tersebut.
Tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih terkendala oleh infrastruktur pendukung yang carut-marut, tentu saja merupakan refleksi tahun 2010 yang selalu akan hadir memberi ujian sekaligus ancaman dibalik ketidaksiapan kita sebagai bangsa yang besar. Sementara penguasaan ilmu dan teknologi perlu terus digalakkan dengan menyediakan secara lebih luas fasilitas pendidikan dan penghidupan yang layak, agar bangsa kita tidak selalu berpikir untuk mengais rezeki di negara lain, di tengah limpahan sumber daya yang terhampar di hadapan di negeri sendiri.
Pada akhirnya, semoga pergantian tahun akan selalu membawa perubahan yang baik bagi keberlangsungan hidup kita dalam berbangsa dan bernegara. Dinamika peristiwa yang terjadi sepanjang 2010, semoga menjadi cemeti yang selalu memantik kesadaran kita untuk selalu bangkit merajut harapan yang lebih baik dalam menggapai cita-cita di tahun 2011. Selamat Tahun Baru 2011.
SAMPLE
sahabat
BERKARYA BUAT NEGERI
Portal ini saya persembahkan untuk kemajuan dan kemandirian bangsa. Amanah menjadi wakil rakyat di DPR RI merupakan sebuah tantangan sekaligus kesempatan untuk memberikan yang terbaik buat bangsa, yang semua bermuara pada kesejahteraan rakyat. Dukungan, kritikan, dan masukan dari semua warga sangat saya harapkan untuk menghasilkan yang terbaik.