Pajak Warteg, Operasi Pemiskinan Rakyat Kecil

Pajak Warteg-Karikatur RM
Oleh: Fayakhun Andriadi (Komisi I DPR RI Dapil DKI Jakarta)

Rencana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan memungut pajak penghasilan sebesar 10 persen dari penguasaha warung tegal (warteg) yang beromzet 160.000 per hari atau 60.000.000 per tahun, menuai kecaman publik. Kebijakan yang didasari atas pemaknaan terhadap Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ditafsirkan  secara subjektif dan tidak mengakomodasi sensitivitas masyarakat kecil.

Setelah berbagai kritik konstruktif terkait dengan tata kelola penataan kehidupan ibu kota yang belum juga menampakkan perubahan ke arah yang lebih baik, Pemprov DKI Jakarta tak urung mengintropeksi diri, bahkan semakin larut dalam egoisme birokratis. Betapa tidak, rencana pemungutan pajak terhadap usaha warteg hanyalah menambah deretan penderitaan rakyat kecil.

Simbol Kerakyatan

Alih-alih berusaha memenuhi tuntutan masyarakat lewat serangkaian program yang turut menjamin kesejahteraan sosial, Pemprov DKI Jakarta berencana mengamputasi harapan kesejahteraan tersebut dengan memungut pajak penghasilan mereka. Logika rencana tersebut sulit dimengerti akal sehat. Sebab bukankah realitas warteg dan warung-warung kecil sejenisnya adalah sebentuk usaha mandiri yang dibangun atas kesadaran rakyat kecil akan kebutuhan hidup yang semakin meningkat?

Belum usai imbas krisis yang telah melemahkan sendiri perekonomian dalam negeri, di tengah himpitan ekonomi, masyarakat kecil tegar berdiri mengasah harapan dengan kondisi yang serba terbatas. Jika pada akhirnya mereka memperoleh hasil yang cukup menggembirakan, maka kondisi itu harus didukung oleh sarana dan prasarana yang lebih memadai, yang mampu mendukung kelayakan produksi, mulai dari faktor kesehatan hingga tempat usaha yang representatif.

Warteg dan warung-warung kecil adalah simbol kerakyatan. Para pegiat usaha tersebut berasal dari kalangan masyarakat kecil dan sederhana dengan tradisi yang serba sederhana demi harga jual produk yang murah dan terjangkau. Ironisnya, dalam realita seperti itu pun mereka harus “berbagi hasil” dengan oknum aparat yang dipungut secara berkala (mingguan ataupun bulanan). Besarannya pun cukup besar bagi ukuran pendapatan mereka, mulai dari Rp 250.000, Rp 300 ribu hingga Rp 1.000.000. Hasilnya, ibarat ungkapan pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah diperas secara tidak resmi oleh oknum aparat, penghasilan mereka pun terancam dipungut secara resmi oleh pemerintah.

Karena itu, kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk memungut pajak warteg adalah tindakan tiranik dan berpotensi melanggar konstitusi. Pembukaan UUD 1945 telah menyatakan dengan tegas tugas utama negara sebagai pelindung dan penjamin ksejehteraan masyarakat. Konsep itulah yang diuraikan dengan tegas dalam Pasal 34 (2) yang menyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Warteg adalah bagian dari Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang selama ini berfungsi mengakomodasi kebutuhan pangan masyarakat kecil. Konsumennya pun bisa disaksikan dengan kasat mata adalah mereka yang terdiri dari masyarakat kecil dengan penghasilan yang cukup sederhana. Bisa dibayangkan jika pemerintah turut memungut pajak usaha tersebut, maka secara tidak langsung akses masyarakat kecil untuk memenuhi kebutuhan pangannya pun akan semakin terbatas.

Tanggung Jawab Pemerintah
Bisa dimaklumi jika upaya Pemprov DKI Jakarta untuk memaksimalkan pendapatan pajak dari berbagai sektor, termasuk usaha kecil, bertujuan untuk mengakomodasi belanja kebutuhan pemerintah yang semakin besar. Namun itu tidak berarti harus mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Justru persoalan yang belum terjawab hingga saat ini adalah seberapa jauh implementasi kewajiban pemerintah atas tugas utamanya sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 24 UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Sebagai penyelenggara, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan sosial sebagai upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Selain itu, prinsip pajak yang mendasar atas jasa, khususnya pajak penghasilan, didasarkan pada nilai keuntungan. Seberapa besar nilai keuntungan warteg dan warung-warung kecil sejenisnya yang dioperasikan secara sederhan dengan berbagai bentuk ketidakpedulian pemerintah, yang justru berharap banyak atas jasa mereka?

Kondisi ini justru sepatutnya menjadi momen intropeksi bagi pemerintah. Apakah Dinas Usaha Kecil dan Menengah serta Dinas Kesehatan sudah bertindak optimal dalam upaya-upaya pembinaan, pemberian subsidi, penataan usaha-usaha kecil agar menjadi layak produksi dan dikonsumsi oleh masyarakat banyak dan terhindar dari praktik-praktik pemeresan?

Pada akhirnya, warteg tidak sekedar menjadi konsumsi masyarakat kecil, tapi  juga masyarakat menengah maupun elit, dan pada akhirnya bisa menjadi sumber pendapatan yang potensial bagi pemerintah. Pemerintah seharusnya tidak menutup mata atas ketidakpeduliannya sendiri dan justru berharap banyak terhadap sektor-sektor ekonomi yang mereka telantarkan. Jika demikian, kebijakan memungut pajak atas usaha warteg adalah operasi pemiskinan dan pengecilan eksistensi masyarakat di tengah kehidupan yang sudah sedemikian miskin dan serba sulit.

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)