Bangsa ini cukup terhenyak ketika dua media massa terkemuka Australia, The Age dan Sidney Morning Herald mengangkat berita tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurut mereka telah meyalahgunakan kekuasaan. Presiden SBY dituduh mempergunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri, mengintervensi perkara hukum, memanfaatkan Badan Intelijen Negara (BIN) memata-matai menteri, sekutu dan pesaing politiknya, dan sebagainya.
Tulisan ini tidak hendak mempersoalkan benar atau tidaknya isi berita tersebut. Karena kita tahu sumber utama dari dua media massa Australia itu adalah Wikileaks, sebuah organisasi nirlaba di bidang informasi yang membocorkan kawat-kawat diplomatik Amerika di berbagai belahan negara, termasuk mengenai SBY ini. Sebagian orang meragukan validitas data Wikileak, tetapi banyak pula yang mempercayainya.
Yang menarik bagi saya sebagai anggota Komisi I DPR RI adalah jenis data atau fakta yang diungkap oleh media massa tersebut. Jika kita perhatikan dengan seksama, data-data yang diungkap pada dasarnya adalah rahasia lembaga kepresidenan. Sebutlah misalnya instruksi Presiden kepada Jaksa Agung melalui TB Silalahi (Penasehat Presiden) untuk menutup kasus korupsi Taufik Kiemas; instruksi Presiden kepada Kepala BIN, Syamsir Siregar, untuk memata-matai kawan dan lawan politik Presiden, serta perintah memata-matai Menteri yang dianggap berbahaya. Jenis instruksi seperti ini sudah pasti sangat rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh Presiden dan pembantunya saja.
Pertanyaanya, kenapa instruksi Presiden yang sangat rahasia tersebut bocor ke tangan pihak lain –dalam hal ini intelijen Amerika yang kemudian bocor ke Wikileaks? Dari mana mereka (intelijen Amerika) bisa mendapatkan informasi yang sangat rahasia ini? Apakah ada hubungan telepon yang disadap, ataukah ada alat penyadap yang dipasang di tempat pembicaraan?
Yang namanya lembaga kepresidenan, di dalamnya ada Presiden, Wakil Presiden, dan para pembantunya, semua ini harus dalam keadaan steril dari penyadapan, baik pembicaraan dari pertemuan langsung di tempat tertentu maupun lewat telekomunikasi.
Ada tiga lembaga yang bertanggung-jawab terhadap sterilisasi tersebut, yang semuanya adalah mitra Komisi I. Pertama adalah Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang bertanggung jawab terhadap pengamanan informasi rahasia negara, selain memperoleh informasi melalui analisa informasi rahasia pihak asing. Kedua, Badan Intelijen Negara (BIN). Salah satu hal yang menjadi pekerjaan BIN adalah kontra intelijen, bekerja keras meng-konter intelijen asing dalam mencari informasi yang menjadi rahasia negara. Ketiga, Paspampres, yang lebih bertanggung jawab kepada pengamanan terhadap sesuatu yang bersifat fisik, seperti mendeteksi pemasangan alat penyadap di tempat-tempat pertemuan.
Ketiga lembaga tersebut bersifat saling melengkapi dalam melindungi rahasia negara. Yang bersifat fisik ditangkal oleh Paspampres, niat-niat tidak baik ditangkal oleh intelijen, dan teknik-teknik penyadapan ditangkal oleh Lemsaneg. Ketika ada rahasia Negara yang bocor dari lembaga kepresidenan maka ketiga lembaga ini harus instropeksi, harus bertanggung-jawab. Kalau ada yang lalai, tentu harus mendapat sanksi sesuai besaran kesalahan.
Momentum Memperkuat Kemampuan
Terlepas dari substansi berita The Age dan Sidney Morning Herald benar atau salah, fakta yang kita lihat adalah bahwa rahasia negara kita bocor. Instruksi Presiden yang bersifat rahasia bocor ke pihak lain. Jelas ini merupakan tamparan hebat terhadap kemampuan aparat kita dalam menjaga kerahasiaan negara. Kenapa mereka bisa kebobolan?
Menjaga rahasia negara bagai menjaga rumah penyimpanan intan berlian dari incaran maling. Kata orang, maling selalu lebih maju selangkah. Semakin canggih sistem keamanan semakin canggih pula upaya maling dalam membobolnya. Karena itu, semua kecanggihan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni dibutuhkan untuk menangkal semua upaya maling.
Ketika rahasia negara atau rahasia lembaga kepresidenan tidak bisa dijaga berarti negara sudah tidak punya kedaulatan lagi. Jika setiap national interest tidak bisa kita jaga dari pencurian pihak asing, berarti kita sudah telanjang bulat dalam pergaulan politik Internasional.
Kebobolan yang di depan mata tentu wajib kita tambal: any cost and any reason. Itu sebuah kemestian karena terkait dengan kedaulatan negara. Kemampuan aparat keamanan kita yang bekerja di bidang inteliljen, terutama Lemsaneg dan BIN, menjadi mendesak untuk dibenahi.
Lemsaneg dan BIN adakah dua badan intelijen yang saling mengisi dan menutupi kekurangan masing-masing. Seperti kita ketahui, di setiap negara dikenal dua sistem keamanan intelijen. Pertama inteligen yang menitikberatkan tugas dan fungsinya pada intelijen manusia (human intelligence). Di Indonesia, tugas ini dilakukan oleh BIN. Kedua, intelijen yang lebih bertanggung-jawab pada intelijen sinyal (signal inteligence). Ini diperankan oleh Lemsaneg.
Intelijen sinyal lebih banyak bergantung pada kecanggihan teknologi serta kemampuan sumber daya manusia dalam mengoperasikan teknologi itu sendiri. Kemampuan menangkal dan memperoleh informasi intelijen sinyal sangat banyak menggunakan perangkat serta teknologi canggih yang sangat mahal. Karenanya ketergantungan mereka kepada peralatan teknologi yang super canggih untuk mengamankan rahasia negara sangat besar. Sementara inteligen manusia lebih menitikberatkan pada keahlian sumber daya manusia, sementara teknologi lebih bersifat mendukung (komplementer).
Momentum “kebocoran rahasia negara” ini selayaknya menjadi starting point bagi Lemsaneg dan BIN untuk memodernisasi diri dan meningkatkan kemampuan saing lebih tinggi. Komisi I DPR RI, sebagai mitra pemerintah di bidang pertahanan keamanan, pasti akan mendukung sepenuhnya apapun langkah yang akan dilakukan oleh BIN, Lemsaneg, juga Paspampres selama untuk menjaga kedaulatan lembaga kepresidenan, menjaga rahasia Negara. Kalau ada yang tidak menyetujui berarti tidak mendukung upaya melindungi kerahasiaan rahasia, dan itu berarti musuh dalam selimut.
Harus diakui, perhatian pemerintah terhadap Lemsaneg dan BIN bisa dikatakan masih rendah. Bahkan kedua lembaga ini tidak termasuk lembaga yang menerima remunerasi meski staff mereka banyak yang berasal dari kesatuan TNI/Polri yang sudah memperoleh remunerasi. Hanya saja, ini tentu tidak boleh dijadikan alibi bagi rendahnya kinerja kelembagaan.
Ketika menyangkut harga diri bangsa, maka kekurangan dana operasional, keterbatasan fasilitas, minimnya kelengkapan alat, dan sebagainya tidak pada tempatnya dijadikan sebagai alasan pembenar ketika terjadi suatu kebocoran rahasia negara. Adalah tugas dari lembaga bersangkutan untuk menginventarisir kebutuhan-kebutuhan rasional yang urgen bagi pengamanan rahasia negara untuk kemudian diajukan kepada pemerintah dan DPR. Juga adalah wajib ain (wajib bagi setiap diri) sifatnya untuk meningkatkan skill atau kemampuan yang dibutuhkan dalam tugas dan tanggung-jawab terkait. Kepada mereka yang tidak memenuhi kriteria minimal, alangkah baiknya diganti dengan yang lebih ahli.
Komitmen yang harus dibangun di lembaga intelijen negara, dengan begitu, setidaknya terdiri dari dua hal. Pertama, negara menyediakan fasilitas, dukungan teknologi canggih, dan dana operasional yang cukup demi capaian kerja yang optimal dalam mengamankan rahasia negara dan mendapatkan informasi berharga bagi negara. Kedua, meningkatkan skill sumber daya. Kepada mereka yang dipandang kurang bermanfaat bagi lembaga mungkin ada baiknya dirotasi ke tempat yang semestinya.
Membangun Industri Intelijen Dalam Negeri
Ketergantungan intelijen yang sangat besar terhadap teknologi seyogyanya dijadikan sebagai alasan kuat untuk membangun industri intelijen dalam negeri. Ketergantungan kita terhadap teknologi buatan asing setidaknya memiliki dua kelemahan. Pertama, negara produsen sudah pasti mengetahui secara detail sisi-sisi kelemahan mendasar dari teknologi yang mereka serahkan kepada pengguna. Itu berarti, negara produsen mengetahui celah untuk membobol sistem atau alat pengaman yang mereka jual kepada kita. Kedua, devisa negara selalu mengalir ke nagara lain.
Dalam banyak kesempatan saya selalu meminta pemerintah untuk lebih mandiri dalam hal alutsista, termasuk industri keamanan nasional. Industri intelijen juga sudah harus dimulai. Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya brilian di bidang industri teknologi informasi, yang bahkan beberapa di antara mereka menjadi orang terdepan di perusahaan-perusahaan negara asing. Mungkin negara ini butuh waktu untuk memiliki industri teknologi informasi, terutama yang mendukung kinerja intelijen. Tetapi itu harus dimulai. Kesempurnaan adalah persoalan waktu. Dan kesempurnaan itu bisa kita capai ketika kita berani untuk memulai.
Karena itu, keberanian untuk mengembangkan teknologi intelijen sendiri sudah harus ditunjukkan oleh pemerintah. Ketika kita mampu menghasilkan alat-alat tekonologi sendiri yang mendukung kinerja intelijen, maka intelijen negara akan berupaya dua kali lebih berat jika ingin mencuri rahasia lembaga kepresidenan ataupun rahasia negara kita secara umum . Di sisi lain, daya tawar intelijen kita pun akan semakin meningkat di mata internasional karena secara teknologi kita tidak lagi bergantung kepada negara lain.
Tulisan ini tidak hendak mempersoalkan benar atau tidaknya isi berita tersebut. Karena kita tahu sumber utama dari dua media massa Australia itu adalah Wikileaks, sebuah organisasi nirlaba di bidang informasi yang membocorkan kawat-kawat diplomatik Amerika di berbagai belahan negara, termasuk mengenai SBY ini. Sebagian orang meragukan validitas data Wikileak, tetapi banyak pula yang mempercayainya.
Yang menarik bagi saya sebagai anggota Komisi I DPR RI adalah jenis data atau fakta yang diungkap oleh media massa tersebut. Jika kita perhatikan dengan seksama, data-data yang diungkap pada dasarnya adalah rahasia lembaga kepresidenan. Sebutlah misalnya instruksi Presiden kepada Jaksa Agung melalui TB Silalahi (Penasehat Presiden) untuk menutup kasus korupsi Taufik Kiemas; instruksi Presiden kepada Kepala BIN, Syamsir Siregar, untuk memata-matai kawan dan lawan politik Presiden, serta perintah memata-matai Menteri yang dianggap berbahaya. Jenis instruksi seperti ini sudah pasti sangat rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh Presiden dan pembantunya saja.
Pertanyaanya, kenapa instruksi Presiden yang sangat rahasia tersebut bocor ke tangan pihak lain –dalam hal ini intelijen Amerika yang kemudian bocor ke Wikileaks? Dari mana mereka (intelijen Amerika) bisa mendapatkan informasi yang sangat rahasia ini? Apakah ada hubungan telepon yang disadap, ataukah ada alat penyadap yang dipasang di tempat pembicaraan?
Yang namanya lembaga kepresidenan, di dalamnya ada Presiden, Wakil Presiden, dan para pembantunya, semua ini harus dalam keadaan steril dari penyadapan, baik pembicaraan dari pertemuan langsung di tempat tertentu maupun lewat telekomunikasi.
Ada tiga lembaga yang bertanggung-jawab terhadap sterilisasi tersebut, yang semuanya adalah mitra Komisi I. Pertama adalah Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang bertanggung jawab terhadap pengamanan informasi rahasia negara, selain memperoleh informasi melalui analisa informasi rahasia pihak asing. Kedua, Badan Intelijen Negara (BIN). Salah satu hal yang menjadi pekerjaan BIN adalah kontra intelijen, bekerja keras meng-konter intelijen asing dalam mencari informasi yang menjadi rahasia negara. Ketiga, Paspampres, yang lebih bertanggung jawab kepada pengamanan terhadap sesuatu yang bersifat fisik, seperti mendeteksi pemasangan alat penyadap di tempat-tempat pertemuan.
Ketiga lembaga tersebut bersifat saling melengkapi dalam melindungi rahasia negara. Yang bersifat fisik ditangkal oleh Paspampres, niat-niat tidak baik ditangkal oleh intelijen, dan teknik-teknik penyadapan ditangkal oleh Lemsaneg. Ketika ada rahasia Negara yang bocor dari lembaga kepresidenan maka ketiga lembaga ini harus instropeksi, harus bertanggung-jawab. Kalau ada yang lalai, tentu harus mendapat sanksi sesuai besaran kesalahan.
Momentum Memperkuat Kemampuan
Terlepas dari substansi berita The Age dan Sidney Morning Herald benar atau salah, fakta yang kita lihat adalah bahwa rahasia negara kita bocor. Instruksi Presiden yang bersifat rahasia bocor ke pihak lain. Jelas ini merupakan tamparan hebat terhadap kemampuan aparat kita dalam menjaga kerahasiaan negara. Kenapa mereka bisa kebobolan?
Menjaga rahasia negara bagai menjaga rumah penyimpanan intan berlian dari incaran maling. Kata orang, maling selalu lebih maju selangkah. Semakin canggih sistem keamanan semakin canggih pula upaya maling dalam membobolnya. Karena itu, semua kecanggihan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni dibutuhkan untuk menangkal semua upaya maling.
Ketika rahasia negara atau rahasia lembaga kepresidenan tidak bisa dijaga berarti negara sudah tidak punya kedaulatan lagi. Jika setiap national interest tidak bisa kita jaga dari pencurian pihak asing, berarti kita sudah telanjang bulat dalam pergaulan politik Internasional.
Kebobolan yang di depan mata tentu wajib kita tambal: any cost and any reason. Itu sebuah kemestian karena terkait dengan kedaulatan negara. Kemampuan aparat keamanan kita yang bekerja di bidang inteliljen, terutama Lemsaneg dan BIN, menjadi mendesak untuk dibenahi.
Lemsaneg dan BIN adakah dua badan intelijen yang saling mengisi dan menutupi kekurangan masing-masing. Seperti kita ketahui, di setiap negara dikenal dua sistem keamanan intelijen. Pertama inteligen yang menitikberatkan tugas dan fungsinya pada intelijen manusia (human intelligence). Di Indonesia, tugas ini dilakukan oleh BIN. Kedua, intelijen yang lebih bertanggung-jawab pada intelijen sinyal (signal inteligence). Ini diperankan oleh Lemsaneg.
Intelijen sinyal lebih banyak bergantung pada kecanggihan teknologi serta kemampuan sumber daya manusia dalam mengoperasikan teknologi itu sendiri. Kemampuan menangkal dan memperoleh informasi intelijen sinyal sangat banyak menggunakan perangkat serta teknologi canggih yang sangat mahal. Karenanya ketergantungan mereka kepada peralatan teknologi yang super canggih untuk mengamankan rahasia negara sangat besar. Sementara inteligen manusia lebih menitikberatkan pada keahlian sumber daya manusia, sementara teknologi lebih bersifat mendukung (komplementer).
Momentum “kebocoran rahasia negara” ini selayaknya menjadi starting point bagi Lemsaneg dan BIN untuk memodernisasi diri dan meningkatkan kemampuan saing lebih tinggi. Komisi I DPR RI, sebagai mitra pemerintah di bidang pertahanan keamanan, pasti akan mendukung sepenuhnya apapun langkah yang akan dilakukan oleh BIN, Lemsaneg, juga Paspampres selama untuk menjaga kedaulatan lembaga kepresidenan, menjaga rahasia Negara. Kalau ada yang tidak menyetujui berarti tidak mendukung upaya melindungi kerahasiaan rahasia, dan itu berarti musuh dalam selimut.
Harus diakui, perhatian pemerintah terhadap Lemsaneg dan BIN bisa dikatakan masih rendah. Bahkan kedua lembaga ini tidak termasuk lembaga yang menerima remunerasi meski staff mereka banyak yang berasal dari kesatuan TNI/Polri yang sudah memperoleh remunerasi. Hanya saja, ini tentu tidak boleh dijadikan alibi bagi rendahnya kinerja kelembagaan.
Ketika menyangkut harga diri bangsa, maka kekurangan dana operasional, keterbatasan fasilitas, minimnya kelengkapan alat, dan sebagainya tidak pada tempatnya dijadikan sebagai alasan pembenar ketika terjadi suatu kebocoran rahasia negara. Adalah tugas dari lembaga bersangkutan untuk menginventarisir kebutuhan-kebutuhan rasional yang urgen bagi pengamanan rahasia negara untuk kemudian diajukan kepada pemerintah dan DPR. Juga adalah wajib ain (wajib bagi setiap diri) sifatnya untuk meningkatkan skill atau kemampuan yang dibutuhkan dalam tugas dan tanggung-jawab terkait. Kepada mereka yang tidak memenuhi kriteria minimal, alangkah baiknya diganti dengan yang lebih ahli.
Komitmen yang harus dibangun di lembaga intelijen negara, dengan begitu, setidaknya terdiri dari dua hal. Pertama, negara menyediakan fasilitas, dukungan teknologi canggih, dan dana operasional yang cukup demi capaian kerja yang optimal dalam mengamankan rahasia negara dan mendapatkan informasi berharga bagi negara. Kedua, meningkatkan skill sumber daya. Kepada mereka yang dipandang kurang bermanfaat bagi lembaga mungkin ada baiknya dirotasi ke tempat yang semestinya.
Membangun Industri Intelijen Dalam Negeri
Ketergantungan intelijen yang sangat besar terhadap teknologi seyogyanya dijadikan sebagai alasan kuat untuk membangun industri intelijen dalam negeri. Ketergantungan kita terhadap teknologi buatan asing setidaknya memiliki dua kelemahan. Pertama, negara produsen sudah pasti mengetahui secara detail sisi-sisi kelemahan mendasar dari teknologi yang mereka serahkan kepada pengguna. Itu berarti, negara produsen mengetahui celah untuk membobol sistem atau alat pengaman yang mereka jual kepada kita. Kedua, devisa negara selalu mengalir ke nagara lain.
Dalam banyak kesempatan saya selalu meminta pemerintah untuk lebih mandiri dalam hal alutsista, termasuk industri keamanan nasional. Industri intelijen juga sudah harus dimulai. Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya brilian di bidang industri teknologi informasi, yang bahkan beberapa di antara mereka menjadi orang terdepan di perusahaan-perusahaan negara asing. Mungkin negara ini butuh waktu untuk memiliki industri teknologi informasi, terutama yang mendukung kinerja intelijen. Tetapi itu harus dimulai. Kesempurnaan adalah persoalan waktu. Dan kesempurnaan itu bisa kita capai ketika kita berani untuk memulai.
Karena itu, keberanian untuk mengembangkan teknologi intelijen sendiri sudah harus ditunjukkan oleh pemerintah. Ketika kita mampu menghasilkan alat-alat tekonologi sendiri yang mendukung kinerja intelijen, maka intelijen negara akan berupaya dua kali lebih berat jika ingin mencuri rahasia lembaga kepresidenan ataupun rahasia negara kita secara umum . Di sisi lain, daya tawar intelijen kita pun akan semakin meningkat di mata internasional karena secara teknologi kita tidak lagi bergantung kepada negara lain.
**Artikel Fayakhun Andriadi