Oleh: Fayakhun Andriadi, Anggota Komisi I DPR
Andai Anda pemilik sebuah rumah yang terkenal dengan kesemrawutannya di mana barang-barang berantakan di sana-sini, berdebu dan tak terurus. Rumput pekarangan rumah merimba jauh dari rapi, cat rumah penuh kotoran sana-sini, dan seterusnya.
Lalu, ketika Anda mempunyai hajatan dengan daftar tamu orang-orang terkenal, bahkan pemimpin negara, apa yang akan Anda lakukan?
Akankah Anda membiarkan semua kesemrawutan itu hadir?
Rumah terkenal tapi semrawut dan acak-acakan itu adalah Jakarta, kepala keluarganya adalah Fauzi Bowo.
Rumah ini sekarang lagi didatangi tamu-tamu penting dari negara-negara ASEAN, juga delegasi Uni Eropa dan bagian-bagian lain Asia, dalam rangka KTT ASEAN ke-18 yang berlangsung pada 7 dan 8 Mei 2011.
Adakah Fauzi Bowo ‘sang kepala keluarga’ berbenah? Tentunya harus karena KTT ASEAN bukan hajatan yang ujug-ujug ada.
Indonesia kini memimpin ASEAN yang mendapat estafet giliran memimpin dari sebelumnya Vietnam dalam penutupan KTT ASEAN ke-17 di ‘National Convention Center’, Hanoi, Vietnam, 30 Oktober 2010.
Indonesia telah melansir rencana menggelar dua kali KTT ASEAN. Pertama di Jakarta yang kini sedang berlangsung, lalu kedua (KTT ASEAN ke-19), November tahun ini di Bali.
Dipilihnya Jakarta sebagai tempat pelaksanaan KTT ASEAN sejatinya adalah kehormatan bagi Pemda DKI Jakarta, sekaligus momentum untuk memberikan kesan baru kepada publik Internasional mengenai wajah kota Jakarta, setidaknya menipis kesan semrawut yang selama ini melekat pada Jakarta.
Namun, sampai Jumat dua hari lalu, satu hari serbelum pelaksanaan KTT ASEAN, ketika semua delegasi ASEAN sudah tiba di Jakarta, “rumah Jakarta” itu tetap semrawut sebagaimana biasa.
Bahkan sekedar menata bagian depan rumah DKI yang terlihat kasat-mata saja, Fauzi Bowo tak mampu.
Padahal, keberhasilan Indonesia sebagai tuan rumah KTT ASEAN diantaranya diukur dari kesanggupan dan kemampuan pemerintah Indonesia menjamin keamanan dan kelancaran penyelenggaraan.
Wajah kota secara terang benderang dilihat para pelintasnya, termasuk tamu-tamu ASEAN itu.
Ada beberapa hal sangat memperihatinkan yang tetap mencolok terlihat.
Pertama, transportasi kota megapolitan yang memalukan, angkutan umum yang tidak manusiawi sudah menjadi menu keseharian Jakarta.
Armada yang sudah tua, tak terawat, tak layak jalan, menurunkan dan menaikkan penumpang sembarangan, menelantarkan penumpang, ugal-ugalan dan sebagainya.
Adakah yang tidak menyadari betapa kasat matanya angkutan umum? Tak ada yang bisa disembunyikan dari angkutan umum ini karena ia bagai benda besar yang bergerak di lapangan bola.
Angkutan umum merepresentasikan kepedulian pemerintah terhadap masyarakatnya. Mobilitas jutaan masyarakat sangat tergantung kepadanya.
Pengguna maupun pengamat transportasi sangat ‘nyinyir mempersoalkan dan mengkritik betapa tidak manusiawinya angkutan umum di DKI Jakarta.
Masyarakat tak bosan-bosannya mengingatkan Pemda DKI, agar serius menangani persoalan ini.
Menjelang pelaksanaan KTT ASEAN, ada harapan baik kepada Fauzi Bowo, yaitu sedikit menseriusi wajah transportasi Jakarta. Dia setidaknya bisa menata hal-hal sangat kasat mata dulu.
Ia harus tegas menegakkan disiplin berlalu lintas. Mencabut izin kendaraaan yang tidak layak jalan, menindak angkutan yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas dan ugal-ugalan, dan sebagainya.
Ternyata Fauzi Bowo tak berpikiran serupa itu.
Dia malah nyaman membiarkan transportasi umum yang memperihatinkan itu tetap seperitu itu, kendati ditonton ASEAN dan warga dunia lainnya.
KTT ASEAN tak bisa menggugah Fauzi Bowo membenahi hal-hal yang kasat mata.
Lalu, kira-kira momen apa yang bisa melecutnya? Atau dia memang tidak mampu?
Hal kedua yang memalukan adalah banyaknya joki ’3 in 1′ di sekitar Senayan. Tak ada yang tak sepakat, soal joki “3 in 1″ ini adalah soal sosial yang harus dikendalikan Pemda.
Praktik ini adalah manipulasi terang-terangan terhadap aturan.
Aturan ’3 in 1′ yang tertuang dalam Perda Nomor 12/2003, bertujuan mengendalikan kemacetan dan mengurangi jumlah kendaraan pribadi melewati jalur-jalur tertentu pada jam-jam sibuk.
Masyarakat kelas ekonomi bawah kemudian mengambil celah dari itu untuk mengais rezeki dengan menawarkan jasa menumpang. Sebaliknya, pengendara mobil pribadi berpenumpang kurang dari tiga orang, menyambut jasa itu.
Pemda DKI Jakarta “hangat-hangat tahi ayam” menangani soal joki ’3 in 1′ ini.
Ketika ‘pengen’, mereka melakukan razia, ketika malas, ya biarkan saja. Tak pernah ada sanksi tegas terhadap pengendara maupun joki.
Tak heran soal ini terus terjadi.
Para joki berjejer menjajakan jasa di sepanjang jalan menjelang titik-titik ’3 in 1′. Dan itu semua dilihat para peserta KTT ASEAN.
Tak ada satu pun Satpol PP yang menertibkannya.
Ketiga, kondisi penumpang bis Transjakarta yang menumpuk padat dan rawan pelecehan seksual.
Bis Transjakarta digaungkan sebagai projek andalan Pemda DKI dalam mewujudkan transportasi ramah penumpang, manusiawi, dan tepat waktu.
Faktanya itu tak sebaik konsep awalnya.
Ada banyak sekali keluhan terhadap cara Pemda DKI Jakarta mengelola transportasi umum yang seharusnya andalan ini.
Hal memprihatinkan yang kasat mata terjadi adalah mulai dari halte yang tak terurus, pintu otomatis tak berfungsi, penumpang berjubel, sopir ugal-ugalan, serta banyak problem ikutannya.
Pada saat KTT ASEAN ini, Pemda DKI Jakarta seharusnya berusaha semaksimal mungkin memberikan kesan baik mengenai Transjakarta kepada para tamu ASEAN.
Minimal Pemda DKI membenahi hal-hal kasat mata di jalur-jalur yang melintas di jalan protokol utama. Dan yang sederhana ini pun tak dilakukan Fauzi.
Itu membuat kita malu sebagai bangsa, apalagi selaku ketua dan pendiri ASEAN.
Ini semua menunjukan bahwa pemerintah memiliki kepedulian rendah terhadap kepentingan publik, dan itu telanjang terlihat selama pelaksanaan KTT.
Lebih memalukan lagi, semua itu terjadi dekat lokasi pelaksanaan KTT.
Sungguh menyedihkan.
Batinku menderu, “Baik secara pribadi sebagai warga DKI Jakarta dan warga negara Indnesia, maupun selaku anggota DPR RI dari Dapil Jakarta, saya malu dan sedih melihatnya.”
Ternyata Foke benar-benar bukan ahlinya.
(dimuat di Antara, Minggu 8 Mei 2011)