SWASEMBADA ALUTSISTA


Pernyataan anggota Komisi I DPR RI Fayakhun Andriadi, yang menyatakan kini saatnya RI menjalani tahapan swasembada alat utama sistem persenjataan (Alutsista), sungguh menarik sekaligus menggelikan hati. Namun begitu kita patut menghargai apa yang menjadi harapan Fayakhun. Sebab sebagai anak negeri, tentu selalu berharap Indonesia lebih baik dari negara-negara tetangganya. Untuk menjadikan bangsa ini mampu berswasembada alutsista, tentu kita harus lebih dulu memperkuat alutsista yang ada. Alangkah naifnya jika kita disebut sebagai negara yang mampu berswasembada alutsista, namun kecelakaan beruntun terhadap alat tempur milik tentara kita masih saja terus berlangsung.

Indonesia memang beda dengan China. Kalau negara sehebat China, hilang satu-dua kendaraan perang tidaklah berarti. Tapi bagi Indonesia, di tengah alutsista TNI, kehilangan satu pesawat sangat-sangat berarti. Apalagi di tengah "olok-olok" Malaysia di Blok Ambalat, ketangguhan alutsista negara kita semakin dipertanyakan. Sejauh mana persenjataan yang kita miliki mampu mempertahankan tanah air yang memiliki bentangan pantai terpanjang di dunia ini?

Alutsista TNI AD, seperti diakui KSAD Jenderal TNI Agustadi Sasongko, hanya 60 persen yang masih laik. Nasib yang sama kurang lebih dialami pula oleh TNI AU dan TNI AL. Bahkan bisa jadi lebih minimal. Bayangkan saja, dari kebutuhan anggaran pertahanan sebesar Rp 127 triliun, hanya terealisasi 30 persen atau sekitar Rp 36 triliun saja.

Masih jauh dari kebutuhan minimun sebesar Rp 100 triliun. Dan anggaran yang minim itu pun lebih banyak tersedot untuk anggaran rutin gaji prajurit. Hanya sepersekian persen yang digunakan untuk membeli alutsista baru atau merawat alutsista yang lama.

Memang minimnya anggaran pertahanan tidaklah paralel dengan sering terjadinya kecelakaan yang menimpa alutsista TNI. Semua pun tahu, dalam kecelakaan apa pun tidak ada faktor tunggal yang menjadi penyebab. Pasti ada faktor lain, di samping faktor utama. Sebutlah itu faktor cuaca buruk, human error, dan sarana yang tak laik. Tapi sedikit banyak, anggaran yang minim itu turut menyumbang.

Tentu akan ada pula yang berapologi bahwa yang penting itu bukanlah senjatanya, melainkan manusianya, orang-orang yang memegang senjata atau "the man behind the gun". Tak heran jika pengembangan kekuatan tentara kita pun lebih dititikberatkan pada kemampuan personel ketimbang pengadaan atau pembaharuan persenjataan.

Hasilnya memang patut diacungi jempol. Kemampuan personel Kopassus atau Kopaska setara dengan kemampuan personel pasukan elite lainnya di dunia. Namun, dalam situasi dan kondisi saat ini, ketika negara-negara luar mulai mengganggu dan mempermainkan kita, tak ada salahnya jika sumber daya personel prajurit yang unggul itu diimbangi dengan ketersediaan alutsista yang juga mumpuni.

Setidaknya ketersediaan alutsista yang paling minimal. Jika untuk menjaga laut dan pantai kita dibutuhkan 1.000 kapal sekelas KRI, setidaknya 750 KRI harus kita miliki. Jika untuk mempertahankan kedaulatan udara TNI AU membutuhkan 100 skuadron pesawat tempur Sukhoi, setidaknya 75 skuadron sudah siap mengangkasa.

Bagaimanapun kita tidak ingin terus menerus menjadi bahan olok-olok negeri jiran saat melihat kemampuan alutsista kita. Sudah saatnya, anggaran pertahanan itu dinaikkan hingga mencapai anggaran kebutuhan minimum. Ini agar masyarakat Indonesia pun bisa merasa lebih aman melihat kekuatan alutsista TNI yang tak kalah dari negara lain.

Kalau harapan ini terpenuhi, rasanya kok baru pantas kita menyebut Indonesia bisa berswasembada alutsista. Swasembada Alutsista yang menjadi harapan Fayakhun, mungkin setelah ia melihat PT Pindad sudah mampu mendesain, merekayasa, memproduksi senjata laras pendek dan laras panjang. Ini memanglah prestasi sehingga layak jika harus swasembada pistol dan bedil.

Boleh saja harapan itu menjadi keinginan semua anak bangsa di negeri ini. Sebab, PT Pindad pun sudah mampu swasembada granat, mortir ukuran lima dan delapan serta meriam kaliber menengah. Ini memang perlu kita ekspos dan didukung. Jangan kita terus keenakan impor saja, karena mungkin dengan cara itu bisa `menggemukkan` orang-orang tertentu. Gunakan produksi senjata sendiri, itu lebih menguntungkan negara.

Kalau soal peralatan seperti baju, sepatu, helm, rompi anti peluru, pistol, bedil, granat, hingga amunisinya. Dan sebagian besar item ini sudah bisa memang sudah kita produksi sendiri. Tanpa bermaksud menampik harapan Fayakhun, tapi sebaiknya kita perkuat dulu alutsista Indonesia, baru kita mengikrarkan diri mampu berswasembada alutsista.

Penulis setuju dan sependapat apa yang menjadi harapan Fayakhun. Bahkan ini juga menjadi harapan seluruh anak negeri. Tapi alangkah baiknya jika kekuatan alutsista kita sudah kuat baru kita mengikrarkan diri sebagai negara yang mampu berswasembada alutsista, agar kelak kita tidak diperolok oleh negeri jiran, yang harus diakui alutsistanya jauh lebih baik ketimbang Indonesia. ***
Sumber: http://web.pab-indonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30256temid=60

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)