ATURAN SADAP DIMINTA DIUBAH


Seputar Indonesia hal 5, Rabu, 9 Desember 2009
Jakarta (SI) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah merombak isi draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyadapan.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketrua KPK Tumpak Hatorangan Penggabean menyatakan, KPK belum sepakat dengan isi materi RPP, terutama menyangkut izin penyadapan dari ketua pengadilan.
“Ada beberapa hal yang kita tidak sependapat dengan RPP itu, termasuk izin,” tegas Tumpak seusai mengikuti pertemuan dengan Menko Polhukam, Kapolri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta kemaren. Selain itu, KPK juga berkeberatan dengan adanya Pusat Intersepsi Nasional.
“Jika semuanya (penyadapan) disatukan di dalam (Pusat Intersepsi Nasional), akan sulit bagi kita (KPK). Jadi, mudah-mudahan nanti akan ada perombakan (RPP),” tandasnya. Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) mengaku tidak akan ikut campur dalam pembahasan RPP tentang Penyadapan. Sebab, hal itu bukan kewenangan MA. Namun, jika memang aturan nantinya memberi kewenangan kepada pengadilan, sebagai lembaga induk pengadilan MA menyatakan siap memberikan izin penyadapan. Bahkan, MA menegaskan tidak akan berbelit-belit dalam proses pemberian izin itu.
“Kami harus terima amanah kalau itu (kewenangan pengadilan untuk memberi izin penyadapan) dipercayakan, tapi kami tidak mau mengintervensi dengan mengatakan berikanlah kepada kami (kewenangan pengadilan untuk memberi izin). Saya tidak pernah mengatakan berikanlah itu kepada pengadilan,” ungkap juru bicara MA Hatta Ali di Gedung MA, Jakarta, kemaren.
Sebagaimana diketahui, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring berencana menyusun RPP tentang Penyadapan. RPP ini disusun agar ada aturan yan jelas tentang penyadapan.
Anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi berpendapat, kontroversi mengenai RPP Penyadapan disebabkan belum jelasnya aturan mana yang akan diterapkan. Padahal, kata dia, jika mencermati substansi aturan penyadapan, sesungguhnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Termasuk masa depan pemberantasan korupsi.
“Tidak ada yang dikerdilkan. Aturan penyadapan untuk menertibkan, bukan memasung atau mengkerdilkan lembaga penegak hukum, termasuk KPK. Aturan ini juga mengatur hak privasi warga negara,” kata Fayakhun. Politisi Partai Golkar itu mengatakan, di negara maju lainnya, aturan tentang penyadapan juga diberlakukan.
Dia mencontohkan aturan penyadapan di Amerika Serikat. Menurut dia, di negara adikuasa itu, penyadapan juga dilakukan atas izin pengadilan. Di Amerika, ujar dia, dijelaskan pula tujuan penyadapan, target dan konteksnya. Apakah untuk teroris, korupsi, penyelundupan, pembunuhan, dan sebagainya. Begitupun dengan waktu penyadapan, jelas disebutkan berapa lamanya.
Fayakhun menambahkan, ada dua alat penyadapan yang biasa digunakan di berbagai negara, yaitu lawfull interception (LI) dan portable. Untuk LI, pemerintah harus membangun national umbrella system (NUS), yakni semua provider telekomunikasi yang beroperasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) wajib tersambung dengan lawfull interception national umbrella system yang disimpan di Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo).
Nah, semua provider, switching-nya harus ada di Menkominfo sehingga jika ada lembaga penegak hukum, baik itu Polri, KPK, maupun Kejagung yang ingin melakukan penyadapan, bisa langsung menyambungkan alatnya di sini (Kominfo),” jelasnya. Dalam sistem NUS, kata dia, ada dua hal yang akan diatur, yaitu blacklist dan reflist.
Blacklist adalah mereka yang ditargetkan untuk disadap. Adapun reflist adalah simbol-simbol negara yang tidak boleh disadap atas nama apa pun. “Ini penting untuk diatur. Tidak boleh memberantas kezaliman dengan kezaliman lagi,” paparnya. (pasti liberti/kholil/ahmad baidowi)

BERITA

Design by Azis Lamayuda (Do The Best To Get The Best)